PROGRAM PENGAJARAN INDIVIDUAL
PENDAHULUAN
Satu komponen penting yang merupakan karakteristik utama penerapan konsep mainstreaming adalah program pengajaran individual (PPI). Istilah PPI sebenarnya diturunkan dari istilah aslinya berbahasa Inggris, yaitu IEP, yang dalam beberapa buku dijelaskan merupakan kependekan dari individualized educational plan, tetapi ada juga yang menyebutnya dengan individualized educational program.
Bagi para guru yang telah terbiasa dengan pembuatan satuan pelajaran (SP), sebagian komponen-komponen program pengajaran individual mungkin tidak asing lagi, meskipun terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan ini terlihat paling tidak pada dua hal, yaitu pada isi programnya dan pada proses penyusunannya. Dalam hal isinya, satu komponen PPI yang jelas tidak ada pada SP adalah diskripsi keadaan anak sekarang. Seperti tersurat pada istilah yang dipakai, PPI disusun untuk individual anak luar biasa, bukan untuk sekelas murid seperti pada SP. Oleh karena sifatnya yang individual, karakteristik anak yang dimaksud harus didiskripsikan secara lengkap, baik mengenai tingkat kemampuannya maupun tingkat kelemahannya dalam semua aspek yang berkaitan dengan pendidikan, termasuk prestasi belajar, tingkat kecerdasan, kondisi emosi, kemampuan sosialisasi, fisik, kesehatan, dsb. Perbedaan isi ini berpengaruh juga pada proses penyusunannya. Satuan pelajaran disusun berdasarkan pada kuantitas materi yang harus diselesaikan oleh guru dalam kurun waktu tertentu (misalnya satu catur wulan) tanpa banyak mempertimbangkan perbedaan individu pada murid. Dengan kata lain, satuan pelajaran berorientasi pada materi. Sebaliknya, program pengajaran individual berorientasi pada individu murid. Oleh karena itu, proses penyusunan program pengajaran individu harus dimulai dengan asesmen kemampuan dan kelemahan individu murid secara menyeluruh dengan menggunakan alat pengukuran yang terpercaya. Proses penyusunan ini juga akan melibatkan berbagai tenaga profesi, seperti guru sendiri, guru PLB psikolog, psikiater, tenaga medis, dan pekerja sosial. Inilah yang tidak ditemukan dalam proses penyusunan satuan pelajaran.
Para guru dan tenaga profesi lain yang terkait dengan pendidikan luar biasa perlu mamahami seluk beluk program pengajaran individual, karena kemungkinan akan dilibatkan dalam proses
penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi program tersebut. Dalam bidang pendidikan luar biasa, yang diperlukan sebenarnya program pengajaran individual, bukan satuan pelajaran, karena setiwap
anak luar biasa harus diperlakukan secara individual. Latar belakang munculnya program pengajaran individual perlu juga difahami, karena hal ini sangat berpengaruh pada format dan penggunaan PPI sekarang ini.
Dengan sajian materi tentang program pengajaran individual pada bab ini, para pembaca diharapkan mempunyai pemahaman tentang pokok-pokok program pengajaran individual, meliputi:
1.Latar belakang munculnya program pengajaran individual
2.Komponen program pengajaran individual
3.Proses penyusunan program pengajaran individual
4.Asesmen dalam program pengajaran individual
5.Analisa tugas dalam perumusan tujuan
6.Skope program layanan PLB
7.Format program pengajaran individual
BAB I
LATAR BELAKANG MUNCULNYA PROGRAM PENGAJARAN INDIVIDUAL
Program pengajaran individual pertama kali muncul di Amerika Serikat. Untuk lebih memahami latar belakang munculnya konsep ini, perlu kiranya dilihat sepintas perkembangan sistem layanan
PLB di negara tersebut.
Pada awal abad XX, layanan PLB di sediakan di sekolah-sekolah khusus (segregatif) bagi penyandang gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, cacat mental, dan gangguan emosi (Hardman, Drew, dan Egan, 1984). Penyediaan layanan PLB di sekolah biasa tidak dimungkinkan,karena pendidikan pada saat itu ditekankan pada pemberian ketrampilan membaca, menulis, dan berhitung, anak luar biasa akan mengalami kesulitan mengikuti kecepatan belajar anak-anak normal di sekolah biasa. Meskipun tujuan semula dari penyediaan layanan PLB di sekolah segregatif adalah menyiapkan anak-anak luar biasa mengikuti pelajaran di sekolah biasa, tujuan ini tidak pernah terwujud, bahkan sekolah-sekolah khusus ini kemudian berubah fungsinya menjadi panti-panti penampungan dan pemeliharaan.
Pada tahun 1910, beberapa sekolah di kota besar mulai memberikan layanan pendidikan bagi anak luar biasa, itupun terbatas pada anak-anak cacat mental tingkat ringan dan sedang. Anak-anak
ini dididik sepenuhnya di kelas-kelas khusus, terpisah dari teman-teman sebayanya yang normal. Untuk itu, diperlukan instrumen asesmen untuk menjaring anak-anak yang harus dipisahkan di
kelas khusus. Hasilnya adalah tes intelegensi yang dikembangkan oleh Alfred Binet dan Theodore Simon yang sebelumnya dipakai di Perancis untuk memprediksi prestasi belajar murid di sekolah. Tes ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Henry Goddard pada tahun 1908; dan Lewis Terman dari Stanford University mengadakan revisi dan standardisasi terhadap tes ini pada tahun 1916 dan menerbitkannya dengan nama Stanford-Binet Intelegence Scale.
Dengan temuan ini, kelas-kelas khusus bagi anak tuna grahita sedang dan ringan tumbuh menjamur di semua negara bagian di Amerika Serikat (Hardman, Drew, dan Egan, 1984). Keadaan ini berlangsung terus sampai dengan pertengahan abad XX.
Perubahan besar mulai terjadi pada awal tahun 1960-an. Keberadaan kelas-kelas khusus ini mulai dipertanyakan (May dan Marozas,1988). Pendidikan anak luar biasa di kelas-kelas khusus
yang segregatif dianggap tidak etis, dapat mengakibatkan stigma yang akan terbawa oleh anak selama hidupnya, berpengaruh negatif pada harga diri anak, dan menghambat perkembangan sosialisasi anak. Secara filosofis, pendidikan segregatif ini juga tidak masuk akal, sebab tujuan pendidikan adalah menyiapkan anak hidup secara wajar dan layak di masyarakat, tetapi anak justru dipisahkan dari kehidupan masyarakat normal. Faktor lain yang dipertanyakan adalah jumlah penghuni kelas-kelas khusus yang secara tidak proporsional sebagian besar justru terdiri dari anak-anak golongan minoritas. Di Amerika Serikat, mayoritas penduduk terdiri dari bangsa kulit putih dengan bahasa Ingris sebagai bahasa sehari-hari. Suku minoritas seperti kelompok kulit hitam, kelompok Meksiko, kelompok Cina, dan kelompok pendatang lain tidak ada 20% dari jumlahpenduduk yang ada. Ironisnya, anak-anak mereka mendominasi penghuni kelas-kelas khusus bagi anak bermasalah belajar yang terdiri dari anak tuna grahita sedang dan ringan, anak berkesulitan belajar spesifik, dan penyandang gangguan emosi sedang dan ringan. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi salah identifikasi yang dapat disebabkan oleh tes intelegensi yangdipakai yang terbias oleh faktor bahasa dan budaya. Barbagai kasus peradilanpun muncul di berbagai negara bagian, yang intinya memprotes kasus-kasus diskriminasi dalam pendidikan dan asesmen anak dan kasus-kasus penempatan anak yang tidak tepat. Kasus peradilan ini diajukan olah berbagai organisasi, baik organisasi bagi penyandang cacat, organisasi orangtua anak penyandang cacat, maupun organisasi sosial lainnya, ditujukan kepada pemerintah ataupun sekolah setempat. Dan faktor yang paling penting yang berpengaruh pada perkembangan sistem layanan PLB saat itu adalah hasil penelitian. Terbukti bahwa tidak ada perbedaan prestasi belajar antara anak tuna grahita ringan dan sedang yang dididik di kelas-kelas khusus dengan mereka yang tetap berada di kelas biasa tampa layanan khusus. Dengan demikian, bentuk layanan dengan tambahan biaya ektra yang tidak kecil ini dianggap tidak efisien.
Puncak dari perkembangan ini terjadi pada tahun 1975 dengan diundangkannya Public Law 94-142 yang menjamin layanan pendidikan yang layak bagi semua anak luar biasa. Menurut undang-undang ini, ada empat hal yang harus dipenuhi dalam layanan pendidikan luar biasa, yaitu:
1.Asesmen kebutuhan belajar anak secara multidisiplin dan nondiskriminatif.
Selama ini, sebagian besar anak luar biasa ditempatkan pada berbagai program pendidikan luar biasa berdasarkan data dari hasil asesmen yang masih dipertanyakan validitasnya. Keputusan
penempatan anak pada umumnya dibuat berdasarkan pada hasil satu tes baku saja (misalnya tes IQ) atau pada pendapat satu jenis tenaga profesi saja. Akibatnya, secara tidak proporsional, mayoritas dari anak yang disebut luar biasa berasal dari kelompok minoritas atau dari keluarga kelas bawah.
Untuk mengatasi masalah ini, ada beberapa ketentuan:
a.Sedapat mungkin tes diberikan dalam bahasa ibu atau bahasa yang dikuasai anak.
b.Tes yang dipakai hendaknya dipilih tes yang tidak diskriminatif, baik secara budaya maupun
kesukuan.
c.Tes yang dipakai harus sudah divalidasi pada kelompok yang akan memakainya.
d.Proses asesmen dilakukan oleh tim multidisiplin.
2.Keterlibatan orangtua dalam program pendidikan anaknya
Keputusan yang dibuat tentang penempatan pendidikan seorang anak dapat merugikan anak sendiri. Seperti contoh di atas, seorang anak yang sebenarnya normal tetapi berasal dari kelompok
minoritas harus ditempatkan di kelas khusus, karena hasil tes intelegensinya rendah. Padahal, tes intelegensi itulah yang sebenarnya tidak valid. Untuk mencegah peristiwa seperti itu dan agar orangtua mengetahui seluk beluk pendidikan anaknya, orangtua mempunyai hak untuk:
a.Memberi ijin tertulis untuk diadakan asesmen pada anaknya.
b.Memberi ijin tertulis atas penempatan pendidikan anaknya.
c.Mengajukan permintaan asesmen oleh pihak ketiga jika merasa bahwa asesmen yang
dilakukan oleh sekolah tidak memadai.
d.Berpartisipasi dalam semua pertemuan untuk membicarakan asesmen, penempatan, dan
evaluasi program pendidikan anaknya.
e.Memeriksa data kemajuan anak, termasuk mempertanyakannya jika dianggap tidak benar,
keliru, atau tidak cukup.
f.Meminta kopi data kemajuan pendidikan anaknya.
g.Meminta diadakan pertemuan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan anak, termasuk
perubahan jenis layanan, asesmen lanjut, evaluasi, dsb.
3.Pendidikan pada lingkungan yang paling longgar.
Ada perbedaan antara penempatan dengan jenis layanan pendidikan luar biasa. Penempatan adalah keputusan tentang tempat anak akan menerima pengajaran, sedangkan jenis layanan adalah kegiatan yang dirancang untuk anak dalam memenuhi kebutuhan individualnya. Penempatan sendiri tidak menjamin bahwa anak akan memperoleh layanan pendidikan yang layak.
Penempatan seorang anak luar biasa ditetepkan oleh satu tim yang menyusun program pendidikan individual anak. Ada beberapa alternatif dari yang paling longgar ke yang paling terbatas, yaitu:
a.Kelas biasa penuh
b.Kelas biasa dengan bantuan guru konsultan
c.Kelas biasa dengan bantuan guru kunjung
d.Kelas biasa dengan bantuan di ruang khusus
e.Kelas khusus dengan kesempatan berada di kelas biasa
f.Kelas khusus penuh
g.Sekolah khusus
h.Sekolah khusus di tempat-tempat penampungan.
Seorang anak luar biasa harus diberi kesempatan semaksimal mungkin untuk dididik dan menggunakan berbagai fasilitas umum bersama teman-teman sebayanya yang tidak cacat. Kelas khusus, sekolah khusus, ataupun penempatan segregatif lainnya hanya dimungkinkan apabila tingkat kecacatan begitu berat sehingga pendidikan di sekolah biasa dengan berbagai tambahan fasilitas sudah tidak mungkin dilakukan.
4.Program Pengajaran Individual.
Semua anak luar biasa harus dibuatkan program pengajaran individual (PPI). Dalam banyak hal, PPI merupakan rencana pendidikan bagi seorang anak. PPI harus merupakan program yang dinamis, artinya sensitif terhadap berbagai perubahan dan kemajuan anak. PPI bukanlah sekedar selembar kertas yang harus diisi untuk kemudian ditumpuk di meja guru. PPI disusun oleh satu tim berbagai profesi dan keahlian, dan semua anggota tim bertanggungjawab atas pelaksanaan program tersebut.
PPI harus memuat diskripsi tingkat kemampuan anak dalam semua aspek kurikulum yang merupakan hasil dari proses asesmen seperti digambarkan di atas. Asesmen dilakukan oleh tim, termasuk di sini psikolog, guru, orangtua, dan tenaga profesi lain. Begitu data terkumpul, tim akan memeriksa data tersebut. Berdasarkan data itulah akan disusun tujuan jangkapanjang, tujuan jangka
pendek, rincian program layanan khusus yang disediakan, dan metode untuk mengevaluasi program ini.
Secara garis besar, PPI harus meliputi:
a.Diskripsi tingkat kemampuan anak sekarang
b.Tujuan umum (jangka panjang) dan tujuan khusus (jangka pendek).
c.Rincian layanan pendidikan khusus dan layanan lain yang
terkait, termasuk seberapa besar anak dapat berpartisipasi
dalam pendidikan di kelas biasa.
d.Tanggal dimulainya setiap program, termasuk perkiraan waktu
selesai dan evaluasinya.
e.Kriteria untuk menentukan ketercapaian setiap tujuan.
BAB II
KOMPONEN PROGRAM PENGAJARAN INDIVIDUAL
Seperti digambarkan sebelumnya, program pengajaran individual (PPI) disusun berdasarkan data hasil asesmen oleh tim dari berbagai tenaga profesi. Penyusun PPI adalah tim yang dapat terdiri dari wakil sekolah sebagai ketua tim, guru, satu atau kedua orangtua, anak sendiri (jika mungkin), dan semua tenaga profesi yang terlibat dalam proses asesmen. PPI harus dilaksanakan seperti yang direncanakan, dan setiap anggota tim bertanggungjawab atas pelaksanaan program tersebut.
Adapun komponen PPI adalah sebagai berikut:
1.Deskripsi tingkat kemampuan anak.
Ada berbagai cara untuk menentukan tingkat kemampuan dan prestasi anak sekarang. Tes acuan norma umumnya dipakai di sini, karena tes semacam ini menghasilkan data yang komparatif dan
angka-angka yang fungsional seperti percentile rank, z-score, atau T-score. Prestasi dan kemampuan anak dapat didiskripsikan secara kuantitatif dam dibandingkan dengan prestasi anak lain dengan umur kronologis sama atau di kelas yang sama. Tingkat kemampuan anak juga dapat ditentukan melalui tes-tes informal, observasi, atau alat ukur lain.
Pada PPI, ada juga berbagai cara untuk mendiskripsikan tingkat kemampuan dan prestasi yang telah dicapai anak. Hasil tes dapat disajikan apa adanya, disertai dengan penjelasan atau interpretasi singkat. Semua kelebihan dan kelemahan anak perlu juga disampaikan. Cara lain adalah dengan menyajikan sebuah grafik yang menunjukkan tingkat kemampuan anak pada berbagai aspek ketrampilan.
Sebagai contoh, seorang anak berusia 12 tahun bernama Rudi dirujuk oleh guru kelasnya karena berbagai kesulitan dalam bidang akademik dasar. Setelah memperoleh ijin orangtuanya, semua data
tentang Rudi dikumpulkan oleh tim PLB. Hasilnya memang menunjukkan bahwa Rudi bermasalah dan perlu dilakukan asesmen formal. Asesmen formalpun diadakan pada Rudi, meliputi kemampuan akademik dasar (membaca, menulis, berhitung), kemampuan intelegensi, kesehatan, dan kondisi psikologisnya. Khusus untuk kemampuan membaca, hasil tes Rudi dirangkum sbb.
Nama Tes Tanggal Interpretasi
----------------------------------------------------------------
PIAT 10 Sept 87 Ejaan-1 : 7
Membaca permulaan-1 : 2
Membaca pemahaman-1 : 3
----------------------------------------------------------------
Tes konsonan 11 Sept 87 Mengenal 8 dari 21 konsonan
----------------------------------------------------------------
Membaca (checklist) 12 Sept 87 Pemahaman lisan : level 6
Membaca : dasar
----------------------------------------------------------------
Berdasarkan data hasil tes di atas, maka tingkat kemampuan membaca Rudi didiskripsikan pada PPI sebagai berikut:
-dapat mengidentifikasi 8 dari 21 konsonan
-dapat mengidentifikasi beberapa kata pada level permulaan
-secara lisan dapat memahami bacaan untuk kelas 6
Diskripsi tentang tingkat kemampuan Rudi ini mungkin dilengkapi dengan tingkat kemampuan pada semua aspek lain yang memang menunjukkan kelainan, termasuk aspek non-akademik seperti kondisi emosi, kemampuan fisik, kesehatan, dsb. Tetapi apabila pada aspek-aspek tersebut Rudi tidak menunjukkan kelainan, tidak perlu ada diskripsi secara lengkap.
2.Tujuan jangka panjang.
Tujuan jangka panjang adalah pernyataan tentang apa yang akan dicapai pada akhir tahun. Oleh karena itu, istilah lain yang juga dipakai adalah tujuan tahunan. Misalnya, ...mampu membaca kata dengan konsonan hidup dan konsonan mati.., mampu menjumlahkan dan mengurangkan angka dengan dua digit.... Tujuan tahunan dapat ditentukan dengan berbagai cara. Hasil tes-tes acuan norma umumnya juga menunjukkan secara pasti kelemahan dan kelebihan anak, termasuk bagian-bagian yang paling tidak dikuasai oleh anak, dan inilah yang dipakai untuk menetapkan tujuan pengajaran baginya. Misalnya, kemampuan pemahaman bacaan anak jauh lebih jelek daripada kemampuan mengenal kata / huruf; anak mampu mengerjakan penjumlahan angka-angka satu digit, tetapi belum dapat mengerjakan penjumlahan angka dengan dua digit. Hasil tes kriteria dapat juga memberikan informasi yang bermanfaat dalam penentuan tujuan tahunan.
Pengamatan perilaku anak dapat mengidentifikasi masalah perilaku anak baik di sekolah maupun di rumah. Beberapa anak memerlukan bimbingan untuk memusatkan perhatian, berkonsentrasi pada tugas, dsb. Prosedur yang lain adalah wawancara, baik langsung kepada anak maupun kepada orang lain yang mengetahui anak. Baik asesmen formal maupun informal dapat dipakai dalam menentukan tujuan pengajaran.
Dari kasus Rudi di atas, tujuan jangka panjang untuk kemampuan membaca ditetapkan sebagai berikut:
1.Rudi dapat menyelesaikan level dasar dari materi bacaan Bank Street Basal Reading Series.
2.Rudi dapat membaca dan mengucapkan 90 kata baru.
3.Rudi dapat mengenal 14 konsonan awal baru.
3.Tujuan jangka pendek
Tujuan jangka pendek adalah pernyataan lebih spesifik tentang ketrampilan yang akan dikembangkan untuk mencapai tujuan tahunan tertentu. Istilah lainnya adalah tujuan khusus. Untuk setiap tujuan jangka panjang, seperangkat tujuan khusus dikembangkan melalui satu proses ayang disebut analisa tugas (task analysis). Jadi, analisa tugas adalah satu proses mengidentifikasi perangkat ketrampilan yang dipersyaratkan untuk mencapai satu tujuan besar.
Satu contoh proses analisa tugas misalnya untuk tujuan ...membaca jam... Untuk dapat membaca jam dengan tepat, perangkat ketrampilan yang diperlukan antara lain:
-mengenal bahwa waktu pada jam terlihat pada angka yang ditunjuk oleh jarum pendek pada waktu jarum panjang tepat menunjuk ke atas.
-mengenal bahwa jarum panjang menunjuk tepat ke atas tepat pada jam-jam tertentu.
-mengenal fungsi kedua jarum pada jam
-menempatkan angka jam pada urutan yang benar
-mengenal angka 1 - 12 pada jam
-mengucapkan angka 1 - 12 pada jam.
Satu contoh lagi adalah proses analisa tugas untuk tujuan...menunjukkan kata yang mempunyai huruf pertama yang sama dengan kata nini.... Kepada anak akan ditunjukkan sederetan kata yaitu budi, nana, ini. Perangkat ketrampilan yang diperlukan antara lain:
-secara visual mengidentifikasi unsur pada permulaan kata
-secara visual membedakan huruf alfabet
-mengetahui konsep 'permulaan/pertama'
-memahami konsep 'sama' dan 'berbeda'
Hasil analisa tugas inilah yang kemudian akan disusun menjadi tujuan jangka pendek. Tujuan jangka pendek (tujuan khusus) mempunyai beberapa komponen, yaitu audience (di sini nama anak), behavior (jenis perilaku atau ketrampilan yang diharapkan), condition (kondisi saat perilaku yang diharapkan akan muncul), dan degree (tingkat kemunculan perilaku). Misalnya, Jika ditun
jukkan empat warna (condition), Budi (audience) dapat menyebutkan nama-nama warna tersebut (behavior) 100% benar (degree). Ada juga beberapa kriteria tujuan khusus yang baik, yaitu spesifik (jenis perilaku yang diharapkan jelas dan tertentu) dan operasional (dapat diukur). Satu tujuan khusus sebaiknya hanya memuat satu jenis perilaku. Jenis perilaku jang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur (measurable). Kata-kata seperti mengerti, memahami.. adalah kata-kata yang tidak operasional, sedangkan kata yang lebih operasional misalnya menyebutkan, menjelaskan, memberi warna gambar, mendefinisikan, dsb.
Dari kasus Rudi di atas, dapat dikembangkan banyak tujuan jangka pendek. Untuk tujuan umum Rudi dapat mengenal 14 konsonan baru, misalnya, dikembangkan seperangkat tujuan jangka pendek sebagai berikut:
1.Jika ditunjukkan kata yang bermula dengan huruf 'l', Rudi dapat menyebutkan bunyi konsonan tersebut dengan 100% benar.
2.Jika ditunjukkan kata yang bermula dengan huruf 'd', Rudi dapat menyebutkan bunyi konsonan tersebut dengan 100% benar.
3.Jika ditunjukkan kata yang bermula dengan huruf 'c', Rudi dapat menyebutkan bunyi konsonan tersebut dengan 100% benar.
4.dsb...(sampai 14 buah konsonan terselesaikan).
4.Jenis layanan khusus yang diberikan
Bagian ini memuat daftar layanan khusus yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan khusus anak, baik dalam aspek pendidikan maupun aspek lain yang terkait. Dalam hal ini ada beberapa ketentuan:
1.Pendidikan luar biasa adalah pembelajaran yang direncana kan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan khusus anak luar biasa, meliputi pengajaran di kelas, olah raga khusus, pengajaran di rumah, atau pengajaran di tempat-tempat khusus seperti di panti penampungan, institusi khusus, atau rumah sakit.
2.Istilah ini juga meliputi jenis layanan lain yang terkait, seperti transportasi khusus, bina wicara, audiologi, fisioterapi, terapi okupasional, rekreasi, bimbingan psikiater, layanan medis,
identifikasi dini, pekerjaan sosial, pelatihan dan bimbingan orangtua, dll., jika memang anak secara individual memerlukannya.
3.Pendidikan vokasional juga termasuk layanan pendidikan khusus, apabila memang kondisi kecacatan anak menuntutnya. Ketrampilan mencuci piring yang diajarkan kepada anak tuna grahita
karena anak tersebut akan dipekerjakan di rumah makan, misalnya, termasuk layanan khusus. Tetapi jika ketrampilan tersebut juga diajarkan kepada semua anak sebagai bagian dari kurikulum sekolah, ini tidak termasuk layanan khusus.
5.Pengaturan pemberian layanan
Komponen ini berisi pengaturan pemberian layanan pendidikan khusus dan layanan-layanan lain yang terkait. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah penempatan pada lingkungan yang paling bebas, personalia dan fasilitas khusus yang diperlukan, dan kegiatan ekstra kurikuler. Tim PLB harus menyebutkan secara pasti seberapa besar anak dapat diintegrasikan dalam program-program pendidikan biasa. Bagi anak-anak tertentu, program pendidikan integrasi mungkin tidak dapat dilaksanakan. Namun demikian, anak tersebut harus diberi kesempatan berinteraksi dengan teman-temannya yang normal.
6.Waktu pelaksanaan dan kriteria evaluasi
Komponen ini berupa rencana tanggal dimulainya kegiatan untuk setiap tujuan khusus, jangka waktu kegiatan, dan tanggal evaluasi untuk mengetahui tingkat ketercapaian tujuan tersebut. Kecuali itu, harus juga didiskripsikan metode dan kriteria evaluasi bagi setiap tujuan, meskipun secara eksplisit, hal ini juga sudah dapat dilihat pada bunyi tujuan yang dimaksud. Seperti disebutkan sebelumnya, setiap tujuan harus secara pasti menyebutkan kemampuan yang akan ditunjukkan anak, kriteria yang dapat diamati, dan kondisi munculnya perilaku atau kemampuan tersebut. PPI akan memuat jadwal evaluasi, paling tidak secara tahunan.
BAB III
PROSES PENYUSUNAN PROGRAM PENGAJARAN INDIVIDUAL
Pengembangan dan pelaksanaan program pengajaran individual merupakan satu proses sistematik. Menurut Marsh, Price, dan Smith (1983) proses ini meliputi tahap-tahap awal (penjaringan dan rujukan), lanjutan (evaluasi dan asesmen), dan penulisan PPI sendiri, yang dapat digambarkan dalam diagram berikut ini:
Diagram :Alur layanan PLB
PENJARINGAN DAN IDENTIFIKASI ALB
|
V
RUJUKAN KE TIM PLB
|
V
PERTEMUAN TIM PLB --> negatif
|
positif
|
V
ASESMEN
|
V
--------->PERTEMUAN TIM ASESMEN -->negatif
| |
| positif
| |
| V
| PROGRAM PENGAJARAN INDIVIDUAL
| |
| V
| PELAKSANAAN PROGRAM
| |
| V
------------------EVALUASI
1.Penjaringan dan identifikasi
Semua sekolah bertanggung jawab menemukan semua anak di sekitarnya yang berhak memperoleh layanan pendidikan luar biasa. Oleh karena itu, sekolah perlu mempunyai program penjaringan anak yang bertujuan mengidentifikasi anak bermasalah yang mungkin mengganggu proses dan hasil belajarnya. Pencarian anak dapat meliputi kegiatan-kegiatan seperti:
a.Program penjaringan, umumnya meliputi berbagai tes hasil belajar atau tes kelompok yang lain, angket yang disebarkan kepada guru untuk mengidentifikasi murid yang menunjukkan tanda-
tanda bermasalah. Penjaringan formal sebaiknya diadakan kepada semua anak yang baru masuk sekolah, baik pada tingkat sekolah dasar atau taman kanak-kanak.
b.Kampanye kepedulian, bertujuan menginformasikan kepada masyarakat tentang tersedianya berbagai layanan bagi penyandang cacat. Informasi tentang hak-hak yang dimiliki oleh penyandang
cacat dan orangtuanya juga perlu diinformasikan untuk mendorong mereka mencari bantuan bagi anaknya yang cacat.
c.Survei, disebarkan kepada tokoh-tokoh masyarakat, dokter atau tenaga paramedis lain, atau kelompok-kelompok lain, agar penyandang cacat yang belum terjangkau oleh layanan pendidikan
juga dapat diidentifikasi.
d.Bekerjasama dengan insttansi lain, seperti Departemen Sosial atau yayasan-yayasan sosial terdekat.
e.Berkomunikasi dengan para guru umum, agar para guru juga mengetahui adanya berbagai layanan khusus bagi penyandang cacat. Dengan komunikasi ini, tidak ada seorang muridpun yang memang memerlukan layanan khusus yang tidak teridentifikasi.
2.Rujukan
Setiap anak yang diketahui menunjukkan tanda-tanda bermasalah akan dirujuk kepada tim PLB. Melihat proses penjaringan dan identifikasi di atas, rujukan dapat dilakukan oleh orangtua, guru
kelas, administrator, tokoh masyarakat, maupun tenaga profesi lain. Berdasarkan pengalaman di Amerika Serikat (Marsh, Price, dan Smith,1983), sebagian besar anak luar biasa memang dirujuk
oleh guru kelasnya karena masalah-masalah:
a.Tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas sekolah
b.Kesulitan bergaul dengan teman
c.Kemampuan membaca rendah
d.Tidak mampu memusatkan perhatian
e.Prestasi belajar jauh di bawah teman sekelasnya.
Sebelum merujuk anak, para guru umumnya telah menempuh berbagai alternatif pembelajaran bagi anak tersebut, tetapi tidak berhasil.
3.Pertemuan tim rujukan
Tujuan pertemuan tim adalah mempertemukan semua tenaga profesi yang pernah atau sedang menangani anak yang dirujuk sehingga semua informasi lengkap mengenai anak tersebut dapat
dikumpulkan. Pertemuan ini mungkin dihadiri oleh kepala sekolah, pengawas, guru kelas, guru PLB, individu yang merujuk, tenaga profesi lain, orangtua anak, dan anak sendiri (jika diperlukan).
Tugas yang dibebankan kepada tim ini adalah:
a.Validasi adanya masalah yang mengganggu belajar anak
b.Mengidentifikasi secara pasti jenis masalahnya
c.Mengumpulkan semua data yang relevan
d.Mengidentifikasi aspek atau bidang-bidang yang memerlukan asesmen atau pemeriksaan
lanjut.
e.Menetapkan tindakan lanjutan.
Ada tiga alternatif keputusan yang mungkin diambil oleh tim rujukan ini, yaitu:
a.Diperlukan asesmen informal lebih lanjut. Data yang telah terkumpul dianggap belum cukup untuk diambil satu kesimpulan. Dalam hal ini, tim PLB akan mengadakan evaluasi informal lanjutan untuk melengkapi informasi yang belum ada. Pertemuan tim akan kembali diadakan apabila data yang diperlukan telah lengkap.
b.Evaluasi formal. Apabila keputusan ini yang diambil, berarti bahwa anak secara positif memang termasuk luar biasa. Evaluasi formal bertujuan untuk mengetahui secara pasti jenis dan
tingkat kelainannya.
c.Tidak diperlukan layanan khusus. Data yang ada menunjukkan bahwa masalah anak akan dapat ditangani tanpa layanan pendidikan khusus. Dalam hal ini, anak akan mengikuti program pendidikan umum bersama teman sebayanya.
4.Evaluasi/asesmen formal
Tujuan evaluasi formal adalah mengetahui tingkat kemampuan anak di berbagai aspek dan untuk menentukan jenis dan tingkat penyimpangannya. Evaluasi harus dilakukan sebelum anak memperoleh layanan PLB. Dengan demikian, tidak ada seorang anakpun yang
dikategorikan sebagai luar biasa tanpa evaluasi.
Sebelum evaluasi dilaksanakan, harus sudah ada ijin tertulis dari orangtua. Ada dua hal yang termuat dalam ijin tersebut, yaitu ijin agar anaknya dapat menempuh berbagai tes dan agar
hasilnya dapat dimanfaatkan bersama oleh berbagai tenaga profesi
yang terkait dengan anak.
Berdasarkan pengalaman pada tahun 60-an di Amerika Serikat, banyak anak yang sebenarnya normal, terutama anak-anak dari keluarga minoritas, tetapi masuk kelas-kelas khusus bagi anak
tuna grahita sedang dan ringan. Hal ini disebabkan oleh materi tes (tes intelegensi) yang ternyata diskriminatif. Untuk menghindari hal-hal itu, ada beberapa ketentuan dalam pelaksanaan evaluasi formal:
a.Jika dimungkinkan, tes hendaknya diberikan dalam bahasa ibu yang dipakai anak.
b.Materi tes harus telah divalidasi untuk tujuan khusus pada penyaringan ALB.
c.Tes harus dilaksanakan oleh tenaga yang telah terlatih, seperti yang dituntut oleh pembuat tes.
d.Tes hendaknya juga mampu mengidentifikasi kelemahan dan kemampuan khusus yang
dimiliki anak, tidak hanya memberikan gambaran umum seperti halnya IQ.
f.Hendaknya telah diperhitungkan bahwa kelainan anak, seperti gangguan penglihatan,
gangguan pendengaran, keterbatasan fisik, gangguan wicara, dsb.tidak berpengaruh pada hasil
tesnya.
g.Keputusan tentang program PLB yang paling sesuai bagi anak tidak boleh dibuat hanya
berdasarkan pada hasil satu tes saja.
i.Anak harus di evaluasi pada semua aspek yang berkaitan dengan jenis kelainan yang diduga
disandang oleh anak.
Melihat banyaknya aspek yang harus dievaluasi, proses evaluasi tidak mungkin dilakukan oleh seorang individu. Komposisi tim evaluasi harus terdiri dari minimal seorang guru kelas dan masing-masing seorang tenaga dari setiap profesi yang diujikan.
Ada beberapa konponen yang harus dimasukkan dalam proses evaluasi formal, antara lain:
a.Tes kemampuan akademik. termasuk dalam kelompok ini adalah tes-tes tentang penguasaan ketrampilan akademik dan prestasi belajar di sekolah. Hasil tes ini harus menunjukkan tingkat
kemampuan yang dicapai, kelemahan, dan bidang-bidang yang belum dikuasai oleh anak.
b.Tes intelegensi. Tes intelegensi dilaksanakan oleh tenaga profesi yang berwenang (psikolog) untuk memperoleh gambaran tentang tingkat kemampuan umum anak.
c.Tes perilaku sosial dan adaptif. Perilaku adaptif adalah kemampuan memenuhi tuntutan sosial di lingkungannya secara efektif. Aspek yang termasuk di sini antara lain tingkat kemandirian,
kemampuan berkomunikasi, perkembangan motorik-perseptual, sosialisasi, danbina diri. Untuk mengukur perilaku sosial dan adaptif, banyak dipakai teknik observasi, rating scale, atau wawancara, baik langsung kepada anak maupun kepada orang lain yang dekat dengan anak.
d.Kemampuan bahasa. Evaluasi ini bertujuan mengetahui tingkat kemampuan bahasa ekspresif dan reseptif anak dan mengidentifikasi berbagai kelemahan berbahasa yang mungkin dimiliki anak. Jika hasilnya menunjukkan bahawa anak memang bermasalah bahasa, asesmen lanjutan akan diperlukan dan ini harus dilakukan oleh seorang ahli bina wicara.
e.Riwayat perkembangan anak. Data tentang riwayat kesehatan, hasil evaluasi terdahulu (apabila pernah dilaksanakan), laporan dari instansi lain, perkembangan pendidikan, dan data tentang keluarga merupakan materi penting dalam proses evaluasi formal.
f.Komponen lain. Komponen lain mungkin diperlukan untuk melengkapi evaluasi yang diberikan kepada anak. Termasuk di sini di sini antara lain kondisi kesehatan umum, ophthalmologis, neurologis, audiologis, atau psikiatris anak.
5.Pertemuan tim asesmen.
Setelah semua data asesmen terkumpul, diadakan pertemuan tim asesmen untuk menetapkan bidang-bidang yang memang anak menunjukkan masalah. Pertemuan ini diikuti oleh kepala sekolah, guru PLB, orangtua, anak yang bersangkutan, guru atau tenaga profesi lain jika anak tidak/belum bersekolah, dan semua tenaga profesi yang terlibat dalam proses evaluasi. Tugas dari tim ini adalah:
a.Memeriksa data evaluasi dan menetapkan pola umum dari kemampuan dan kelemahan anak.
b.Menetapkan adanya jenis kelainan tertentu.
c.Penetapan lingkungan pendidikan yang paling bebas bagi anak.
Ada dua macam alternatif keputusan yang akan diambil oleh tim PLB, yaitu:
a.Anak tidak menunjukan karanteristik sebagai luar biasa, dan oleh karena itu tidak memerlukan layanan PLB.
b.Anak memang termasuk luar biasa sehingga memerlukan layanan PLB. Dalam hal ini, diperlukan program pengajaran individual. Data hasil evaluasi/asesmen inilah yang menjadi dasar penyusunan PPI.
BAB IV
ASESMEN DALAM PENYUSUNAN PROGRAM PENGAJARAN INDIVIDUAL
Semua pendidik pasti melaksanakan asesmen (pengukuran) atas murid-muridnya. Secara informal, para guru mengumpulkan data tentang muridnya secara harian melalui hasil pekerjaan murid, memberi pertanyaan, atau memberi ulangan. Secara formal, guru mungkin memberi tes baku untuk membandingkan prestasi murid dengan teman-teman sekelasnya. Data ini akan dipakai untuk berbagai keperluan, baik tujuan administratif maupun tujuan pembelajaran. Hasil asesmen ini sering juga dipakai untuk mengevaluasi program-program sekolah agar lebih baik pada masa-masa mendatang.
Dalam pendidikan luar biasa, berbagai data tentang murid diperlukan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan misi antara PLB dengan pendidikan umum. Pendidikan umum dirancang untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik normal (average learners), sedangkan PLB dirancang untuk memenuhi kebutuhan individual anak yang mengalami masalah dalam belajar. Rancangan pembelajaran harus sangat diindividualkan, yang berarti bahwa guru harus mempunyai informasi yang tepat tentang seluk beluk muridnya. Inilah peran asesmen.
1.Definisi, pengertian, dan tujuan
Asesmen edukatif bagi anak luar biasa sering didefinisikan sebagai proses sistematik untuk menemukan karakteristik belajar anak untuk tujuan penempatan dan pembelajaran (McLoughlin dan Lewis,1983). Tekanan asesmen adalah pada bidang-bidang pembelajaran di sekolah dan aspek lain yang dapat berpengaruh pada prestasi belajar anak, seperti kemampuan berbahasa, sosialisasi,
dan ketrampilan lainnya.
Ada istilah lain yang sering dianggap sama, tetapi sebenarnya berbeda, yaitu testing dan diagnosa. Testing menuntut respons anak terhadap seperangkat pertenyaan dalam kondisi yang sangat terstruktur. Respons ini sedapat mungkin dibuat dapat dikuantifikasikan, sedangkan hasil testing ini dapat berupa berbagai skor atau daftar ketrampilan yang sudah dikuasai oleh anak. Tes hanyalah salah satu teknik pengumpulan informasi tentang anak.
Diagnosa merupakan istilah yang dipinjam dari dunia kedokteran, berarti upaya menetapkan penyebab suatu penyakit atau keadaan dan menetapkan teknik penyembuhannya. Jenis penyakit atau keadaan yang dibicarakan umumnya disebut dengan label tertentu, seperti 'autisme', dan label itu sekaligus menunjukkan teknik penyembuhannya. Sebaliknya, asesmen pendidikan tidak ditujukan untuk mencari penyebab, memberi label pada anak luar biasa, atau menetapkan penanganannya berdasarkan label yang diberikan. Asesmen pendidikan bertujuan untuk menyiapkan program bagi anak luar biasa berdasarkan jenis ketrampilan yang belum/tidak dikuasainya. Program disediakan berdasarkan pada kebutuhan khususnya, bukan pada jenis kecacatannya.
Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, proses asesmen dalam PLB sendiri sebenarnya telah dikenal sejak awal abad XX, dengan dikembangkannya tes intelegensi (McLoughlin dan Lewis,1983). Tes inilah yang selama beberapa dekade dipakai untuk menjaring anak-anak yang diperkirakan tidak akan mampu mengikuti pelajaran di kelas biasa bersama anak-anak normal. Anak-anak yang terjaring, kemudian dikenal dengan anak lambat belajar, berkesulitan belajar, atau cacat mental sedang/ringan, akan memperoleh layanan PLB di kelas-kelas khusus. Tetapi pada pertengahan abad XX, penggunaan tes intelegensi sebagai satu-satunya instrumen asesmen dalam PLB mulai dipertanyakan. Hal ini terlihat banyaknya anak-anak dari kelompok minoritas yang secara tidak proporsional mendominasi kelas-kelas khusus bagi anak luar biasa. Oleh karenanya, diperlukan penyempurnaan prosedur asesmen dalam PLB.
Asesmen pendidikan bagi anak luar biasa mempunyai beberapa tujuan, dan hasil asesmen ini terus dimanfaatkan oleh guru sejak pertama kali dtemukannya indikasi kelainan pada anak sampai
berhasilnya upaya penanganan masalah yang dihadapi anak. Secara lebih khusus, asesmen dalam pendidikan luar biasa bertujuan mengumpulkan informasi untuk menentukan apakah anak memang berhak memperoleh layanan PLB dan untuk penyusunan program pengajaran individual bagi anak tersebut. Hal ini mencakup lima proses, yaitu:
a.Mengidentifikasi anak-anak yang mungkin bermasalah belajar sehingga memerlukan layanan PLB melalui penjaringan. Prosedur yang dilakukan dalam penjaringan harus efisien, efektif dalam hal waktu, dan dapat dipercaya. Jenis asesmen yang dipakai kebanyakan bersifat kelompok. Misalnya, dengan tes yang diberikan kepada semua anak, ada beberapa anak yang prestasinya selalu paling buruk. Pekerjaannya selalu di bawah rata-rata temannya, bahkan selalu tidak dapat menyelesaikan tugas pada waktunya. Berbagai upaya pendekatan individual masih belum berhasil. Anak-anak inilah yang terjaring melalui proses penjaringan.
b.Menetapkan apakah seorang anak berhak memperoleh layanan PLB, atau apakah anak mempunyai masalah belajar yang berkaitan dengan kelainannya. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk dikatakan luar biasa dan memperoleh layanan khusus. Untuk tujuan ini, perlu diadakan beberapa tes yang bersifat individual. Data mengenai tingkat intelegensi, prestasi akademik, kemampuan sensoris dan kemampuan lain akan dianalisa untuk menetapkan tingkat penyimpangannya. Jika hasil analisa memenuhi kriteria, baru anak tersebut dapat dikatakan luar biasa.
c.Menyusun program pengajaran individual. Tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang dikembangkan berdasarkan prioritas kebutuhan khusus anak. Hasil asesmen individual seperti pada poin b itulah yang dipakai sebagai rujukan utama. PPI akan menunjukkan waktu, tempat, fisilitas khusus, dan tenaga profesi yang akan membimbing anak mencapai setiap tujuan.
d.Memantau kemajuan anak luar biasa selama memperoleh layanan khusus. Data tentang dampak langsung dari pembelajaran segera dikumpulkan. Ada beberapa prosedur yang dapat dipakai di sini, misalnya pencatatan (diagram) kemajuan dalam bidang akademik membaca, menulis, berhitung, dokumen pekerjaan anak, catatan hasil observasi perilaku, dsb. Berbagai dokumen ini akan dibicarakan oleh tim untuk menyempurnakan PPI yang sedang dilaksanakan.
e.Evaluasi program. Program layanan bagi ALB harus dievaluasi paling lama sekali dalam setahun. Guru, orangtua, dan tenaga profesi terkait lain akamemeriksa kemajuan anak selama setahun untuk menetapkan apakah layanan PLB bagi anak diteruskan atau tidak. Apabila diteruskan, data ini akan dipakai sebagai rujukan dalam menyusun PPI tahun berikutnya.
2.Ruang lingkup pelaksanaan asesmen
Menurut McLoughlin dan Lewis (1983), dalam bidang pendidikan luar biasa, ada tiga pertanyaan utama yang harus terjawab melalui proses asesmen, yaitu:
a.Apakah ada masalah prestasi belajar di sekolah?
b.Apakah masalah itu berkaitan dengan kecacatan?
c.Apakah sajakah kebutuhan khusus pendidikan anak?
Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut, ruang lngkup asesmen harus meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a.Tingkat prestasi anak sekarang baik dalam bidang akademik maupun bidang yang terkait dengan sekolah, kelemahan dan kelebihan anak. Informasi ini akan membantu menetapkan bidang-bidang yang menimbulkan masalah pada anak. Seperti diketahui, prestasi belajar rendah juga merupakan satu kriteria untuk memperoleh layanan PLB.
b.Ketrampilan prasyarat untuk dapat belajar di sekolah, terdiri dari tingkat berfungsi intelegensi dan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan belajar yang normal. Kedua ketrampilan ini diketahui berkaitan dengan retardasi mental.
c.Kemampuan belajar khusus. Untuk mempelajari satu mata pelajaran, seorang anak menggunakan gabungan strategi kognitif dan persepsi. Ketidakmampuan menggunakan salah satu di antaranya, seperti kemampaun diskriminasi auditif (membedakan bunyi) atau sejenisnya, berakibat negatif pada penguasaan bidang studi seperti bahasa atau membaca.
d.Perkembangan sosialisasi dan perilaku sosial lain di sekolah. Aspek ini meliputi perilaku di kelas (perhatian, konsep diri, dan interaksi sosial dengan teman dan guru) dan dampak lingkungan (termasuk lingkungan fisik, metode dan materi pembelajaran, dsb.) terhadap proses belajar anak.
Keempat aspek di atas harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan masalah khusus dalam belajar yang dialami oleh anak. Dalam ini juga harus dilihat kaitan antara masalah belajar anak dengan faktor-faktor lain. Faktor-faktor ini misalnya faktor medis (misalnya gangguan penglihatan), faktor sosial (misalnya tuntutan guru yang berlebihan pada prestasi akademik), atau faktor budaya (misalnya perbedaan bahasa antara bahasa yang dipakai di sekolah dengan bahasa sehari-hari di rumah).
3.Jenis-jenis prosedur asesmen
Ada bermacam-macam prosedur asesmen, masing-masing dengan kelebihan dan kelemahannya. Setiap prosedur memerlukan keahlian yang berbeda pula. Asesmen yang lengkap akan menggunakan sebagian besar dari prosedur berikut ini.
a.Tes acuan norma.Tes acuan norma membandingkan kinerja (performance) seorang anak luar biasa dengan kinerja kelompoknya. Tes semacam ini mungkin bersifat kelompok atau individual. Misalnya, tes yang menuntut jawaban siswa dalam bentuk lisan, seperti pemahaman lisan (oral comprehension), seharusnya diberikan secara individual. Sebaliknya, tes yang menuntut respons anak secara tertulis dapat dilakukan secara kelompok. Tes yang dipakai harus mempunyai validitas dan reliabilitas yang jelas, yang berarti bahwa tes tersebut harus sudah diujicobakan. Sedangkan penggunaannya terbatas pada anak atau kelompok anak yang mirip dengan subyek ujicoba testersebut. Hasil tes ini dinyatakan dalam berbagai angka kuantitatif, seperti percentile atau angka ekuivalensi. Hasil tes acuan norma dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, seperti untuk menetapkan apakah anak berhak memperoleh layanan PLB dan untuk mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan anak dalam belajar.
b.Tes acuan kriteria. Tes acuan kriteria membandingkan kinerja anak dengan satu kriteria atau tingkat prestasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Tes semacam ini dapat disusun oleh guru sendiri dan sangat sesuai untuk murid yang sedang mempelajari ketrampilan yang dimasukkan dalam tes tersebut.Seperti tes acuan norma, tes acuan kriteria dapat bersifat kelompok atau individual. Persyaratan bagi para pemberi tes sangat sederhana, meskipun pelaksanaan tes ini memerlukan banyak waktu dan cebderung melelahkan. Hasil tes ini berupa daftar ketrampilan yang sudah dan belum dikuasai oleh anak, kadang-kadang dapat dinyatakan dengan angka. Kualitas tes acuan kriteria ini memang sulit untuk ditetapkan, tetapi hasilnya akan bermanfaat dalam merencanakan program pembelajaran karena memberikan informasi untuk menetapkan tujuan khusus pembelajaran.
c.Inventori informal. Inventori informal dipakai untuk melihat kinerja seorang anak berkaitan dengan materi atau kurikulum yang diberikan oleh guru. Inventori dapat disusun untuk berbagai ketrampilan yang dicakup oleh kurikulum. Karena umumnya tidak dibakukan, inventori hanya dapat dipakai pada kelompok anak atau kelas tertentu yang menggunakan kurikulum atau materi yang dimaksud. Hasil inventori akan berupa sederet ketrampilan tertentu yang masih memerlukan pendalaman atau pembelajaran lagi, meskipun sulit untuk menginterpretasikan ketrampilan yang belum dikuasai tersebut seperti halnya pada tes acuan kriteria. Tingkat subyektifitas penyusunan intrumen ini termasuk tinggi.
d.Analisa hasil pekerjaan. Analisa hasil pekerjaan dipakai untuk menelaah respon yang betul dan tidak betul yang dibuat oleh anak pada tugas di kelas. Sampel hasil pekerjan dapat diambil dari bidang studi apa saja milik siapapun di kelas. Strategi ini dapat dipakai oleh siapapun tanpa persyaratan tertentu. Hasil analida pekerjaan akan berupa jumlah dan jenis kesalahan dan keberhasilan yang sering ditunjukkan oleh anak. Oleh karena eratnya kaitan dengan materi kurikulum, kualitas dan interpretasi hasilnya sangat jelas, yaitu untuk menetapkan tujuan pembelajaran dan memodifikasi prosesnya.
e.Analisa tugas. Analisa tugas dipakai untuk mengidentifikasi komponen utama dari satu tugas dan mengatur ketrampilannya dengan urutan yang sesuai. Prosedur ini dapat diterapkan pada tugas apapun yang mungkin diberikan kepda anak dan dapat diterapkan pada semua jenis murid. Semakin komplek tugas tersebut, semakin sulit juga mengadakan analisa. Guru yang mengembangkan analisa tugas harus memiliki pemahaman yang baik tentang kurikulum dan tugas-tugas yang diajarkan kepada anak. Hasil dari prosedur ini akan berupa daftar komponen suatu tugas dan daftar ketrampilan yang diperlukan dalam urutan dan bahasa yang dapat diajarkan (teachable), artinya, guru akan mengetahui bagian-bagian mana dari tugas itu yang telah dikuasai oleh anak dan
bagian mana yang masih perlu pendalaman. Kualitas prosedur ini tergantung kepada kepakaran guru pembuat. Hasil prosedur ini akan sangat berguna untuk tujuan peneympurnaan pembelajaran.
f.Observasi. Observasi digunakan untuk mengetahui perilaku anak di lingkungannya selama beberapa waktu agar dapat dilihat polanya. Perilaku di kelas, interaksi dengan teman sebaya atau
guru, dan jenis perilaku lain dapat diteliti di sini. Prosedur ini umumnya digunakan untuk ketrampilan sosial jenis murid apapun. Ada beberapa persyaratan bagi penguji, tergantung kepada sistematika pengamatannya. Hasilnya akan berupa jumlah dan sifat masalah perilaku di kelas, digambarkan dalam bentuk grafik. Kualitas pengamatan ini tergantung kepada faktor seperti ketepatan definisi masalahnya dan teknik pengumpulan datanya. Hasilnya dapat langsundiinterpretasikan, yaitu apakah ada masalah dan bagaimana tingkatnya. Informasi yang diperoleh melalui observasi akan bermanfaat dalam penentuan tujuan pembelajaran pada jenis perilaku yang diamati.
g.Checklist dan rating scales. Checklist dan rating scales dipakai untuk mengumpulkan data dengan cara yang setengah terstruktur, bahkan kadang-kadang dipakai untuk memperoleh informasi yang tidak tergali melalui teknik lain. Prosedur ini dapat dipakai pada bidang studi apapun (akademik, sosial, opini) dan dapat dipakai oleh tenaga profesional, guru, atau orangtua, bahkan murid sendiri. Checklist atau rating scales dapat dibuat sendiri oleh guru dengan desain yang formal. Hasil yang diperoleh akan berupa data diskriptif atau kuantitatif, tergantung kepada formatnya; sedangkan kualitasnya, tergantung kepada kecermatan desain dan reliabilitas pemakainya. Prosedur ini akan sangat membantu dalam penyusunan program pembelajaran.
h.Wawancara dan angket. Wawancara dan angket dipakai untuk mengumpulkan informasi yang sebenarnya sulit untuk diperoleh. Misalnya, orangtua mungkin diwawancarai atau diminta untuk mengisi angket tentang perkembangan akademik, sosial, atau kesehatannya. Setiap aspek dapat digali melalui prosedur ini dan tidak ada persyaratan mengenai pemakai atau sasarannya. Jika angket atau wawancara dilakukan dengan tidak terstruktur, pemakai harus berpengalaman dalam menafsirkan hasilnya. Hasilnya akan berupa data akan berupa data diskriptif, sedangkan kualitasnya sangat tergantung kepada tingkat pengetahuan responden. Mudah atau sukarnya penafsiran hasil tergantung kepada jelas tidaknya tujuan pengumpulan data dan terstruktur tidaknya format angket wawancara tersebut. Keuntungan yang tampak jelas dari prosedur ini adalah apabila responden adalah benar-benar orang yang mengetahui seluk beluk anak dan mampu menceritakannya secara spontan.
4.Karakteristik instrumen asesmen
Semua jenis instrumen asesmen dapat digambarkan berdasarkan karakteristiknya. Karateristik ini menunjukkan bagaimana tes diberikan dan jenis informasi yang akan diperoleh. Untuk memilih jenis tes yang tepat untuk tujuan tertentu, guru harus mengenal karakteristik tes dan manfaatnya.
a.Kelompok atau individual.
Satu instrumen asesmen dapat diberikan secara kelompok atau individual. Bagi anak luar biasa, tes kelompok biasanya merugikan, karena menuntut kemampuan membaca atau membaca petunjuk yang mungkin kurang dikuasai oleh anak tersebut. Dengan demikian, nilai rendah pada tes kelompok dapat berarti dua macam, anak memang tidak menguasai materi tes atau anak tidak menguasai kemampuan membaca dan membaca petunjuk tes. Oleh karena itu, tes kelompok hanya bermanfaat untuk tujuan-tujuan penjaringan, yaitu mengidentifikasi anak yang mungkin berkelainan dan anak-anak yang tidak. Tetapi, tes kelompok tidak banyak memerlukan waktu untuk pelaksanaannya.
Dua jenis tes kelompok yang sering dijumpai adalah tes intelegensi dan tes prestasi. Tes-tes semacam ini berguna dalam penjaringan, pengelompokan, mengevaluasi kemajuan anak, dan mengukur efektifitas kurikulum. Bagi anak luar biasa, tes kelompok berfungsi menjaring prestasi dalam bidang-bidang yang diuji. Oleh karena tes kelompok diberikan dalam kelompok, tidak banyak kesempatan untuk melakukan analisa yang diperlukan.
Tes kelompok memerlukan ketrampilan membaca dan ketrampilan dasar lain untuk dapat mengerjakannya. Oleh karenanya, tes ini dapat berfungsi menjaring anak berkesulitan belajar. Anak luar biasa cenderung berprestasi rendah dalam tesptes ini. Ada juga tes intelegensi dan tes prestasi belajar yang bersifat individual. Dibandingkan dengan tes kelompok, tes individual memungkinkan menggali lebih banyak ketrampilan anak. Berbagai rangsangan yang tidak ada pada tes kelompok dimungkinkan sehingga tes ini lebih berguna bagi anak luar biasa.
b.Acuan norma dan acuan kriteria.
Tes acuan norma dipakai untuk membandingkan kemampuan seorang individu dengan kelompoknya. Perbandingan ini berdasarkan norma yang diperoleh dari sampel ujicoba. Pelaksanaan dan penilaiannya sangat jelas dan sangat obyektif. Tes ini dipakai untuk mengelompokkan orang yang mengambil tes menurut variabel seperti umur dan kelas. Tes ini berguna dalam penjaringan masalah belajar, evaluasi program, dan penempatan anak luar biasa.
Tes acuan kriteria juga mempunyai petunjuk pelaksanaan dan penilaian yang jelas dan obyektif, tetapi tidak dirancang untuk membandingkan prestasi. Tes ini akan menetapkan apakah seorang murid telah menguasai ketrampilan tertentu atau belum. Hasilnya berupa angka prosentase yang menunjukkan tingkat penguasaan. Berbeda dengan tes acuan norma, tes acuan kriteria berguna dalam penyusunan program pembelajaran,karenamateri tes langsung berkaitan dengan tujuan khusus dari program pembelajaran.
c.Formal atau informal.
Perbedaan kedua tes ini sebenarnya keliru. Tes formal umumnya dianggap berupa tes baku dengan acuan norma. Prosedur pelaksanaan, penilaian, dan penafsiran hasilnya telah diatur secara jelas. Ada bermacam-macam skor yang diperoleh dari tes formal.
Prosedur tes informal umumnya terdiri dari teknik pengukuran yang tidak terstruktur atau diatur berbeda dari tes baku. Beberapa contoh asesmen semacam ini misalnya inventori, wawancara, atau rating scale. Unsur subyektifitas asesmen informal memang tinggi, baik dalam pelaksanaan, penilaian, dan penafsiran. Jenis lain yang juga sering dianggap informal adalah tes acuan kriteria dan pengamatan perilaku secara sistematik. Jenis skor yang diperoleh memang tidak sebaik skor dari tes baku, tetapi jika dilihat pelaksanaan, penilaian, dan interpretasinya, tes acuan kriteria tersebut sebenarnya sangat terstruktur. Demikian juga halnya dengan pengamatan perilaku. Jadi, tes yang tidak memiliki karakteristik seperti halnya tes baku tidak dapat otomatis dikatakan informal. Yang tidak dimiliki hanyalah norma pembanding.
d.Bakat dan prestasi.
Tes bakat adalah tes-tes fungsi psikologis seperti intelegensi dan persepsi. Termasuk di sini tes kemampuan tertentu seperti visual, auditori, atau motorik. Tes perilaku adaptif juga sering dimasukkan dalam tes bakat. Tes prestasi mengukur kinerja pada ketrampilan akademik dasar, bahasa, dan beberapa mata pelajaran tertentu yang lain. Bidang studi akademik dasar meliputi membaca, berhitung, mengeja, dan pengetahuan umum.
e.Umum atau khusus.
Tes umum (global) memberi gambaran umum tentang satu bidang tertentu dan dipakai untuk menjaring kelebihan dan kelemahan utama anak. Sedangkan tes khusus (spesifik) dipakai untuk menganalisa lebih rinci bidang-bidang yang lemah. Tes khusus difokuskan pada ketrampilan tertentu dan meliputi tes acuan kriteria. Hasil tes khusus digunakan untuk penyusunan program pembelajaran.
f.Berorientasi pada murid atau lingkungan.
Salah satu kontroversi utama dari asesmen dalam bidang pendidikan dewasa ini adalah fokus asesmen itu sendiri: murid atau sesuatu di luar murid. Asesmen yang berorientasi pada murid adalah pengukuran kemampuan murid secara langsung. Baik tes acuan norma maupun tes acuan kriteria langsung mengukur kemampuan murid. Tetapi beberapa pendidik merasa bahwa memberi tes hanya pada murid berarti menyelahkan murid apabila terjadi masalah belajar. Dengan kata lain, kesalahan selalu berada di pihak murid, baik kondisi fisik maupun psikisnya.
Asesmen berwawasan lingkungan (atau asesmen ekologis) menekankan pada semua variabel di luar murid, seperti lingkungan kelas dan pembelajarannya. Tugas belajar yang harus dikerjakan murid mungkin bermasalah; petunjuknya, apa yang harus dikerjakan, didengarkan, atau cara merespon suatu tugas. Dengan pendekatan ini, daftar seperangkat ketrampilan sekuensial (berurutan) yang diperlukan untuk dapat menyelesaikan tugas dikembangkan melalui analisa tugas (task analysis). Daftar inilah yang dipakai untuk menyesuaikan tugas dengan kondisi, kemampuan, dan cara belajar anak. Asesmen berwawasan lingkungan juga meliputi pengamatan, wawancara, atau teknikiteknik lain secara sistematis. Pengamatan sistematis atas perilaku anak di kelas mungkin dapat menggali masalah yang tersembunyi.
g.Dengan informan murid atau orang lain.
Pada sebagian besar tes, responden atau informannya adalah murid. Murid mungkin diminta mengeja kata, menuliskan jawaban soal berhitung, mendefinisikan arti kata secara verbal, atau menunjuk gambar yang dimaksud oleh satu teks. Murid menunjukkan tingkat keluasan dan kedalaman materi yang telah dikuasainya.
Tetapi ada juga asesmen yang menggunakan orang lain sebagai responden atau informan untuk mengukur ketrampilan seorang anak. Hal ini sangat penting bagi anakm luar biasa yang terlalu muda, tidak dapat berkomunikasi, atau tidak memahami petunjuk. Pada beberapa jenis tes, untuk mengetahui perkembangan bahasa dan motorik anak, orangtua yang diminta untuk menyatakan apakah anaknya telah menguasai perangkat ketrampilan seperti pada tes. Ada juga tes yang menggunakan siapapun yang mengetahui seluk beluk anak sebagai informan.
BAB V
ANALISA TUGAS DALAM PERUMUSAN TUJUAN
Seperti telah digambarkan pada bagian sebelumnya, hasil asesmen akan dipakai sebagai masukan utama dalam menentukan tujuan pembelajaran bagi anak. Dengan demikian tujuan yang ditetapkan akan bersifat individual, berdasarkan pada hasil asesmen. Tujuan inilah yang sebenarnya menjadi isi atau materi kurikulum individual anak.
Menurut Wehman dan McLoughlin (1981), ada empat pertanyaan yang dipakai sebagai ukuran dalam memilih tujuan jangka panjang bagi seorang anak, yaitu:
1.Mengapa ketrampilan ini perlu diajarkan?
2.Apakah jenis ketrampilan ini diperlukan untuk menyiapkan anak agar akhirnya dapat berperan
di lingkungan masyarakat yang heterogen?
3.Apakah anak tidak akan berperan sebagai orang dewasa jika tidak menguasai ketrampilan ini?
4.Apakah ada jenis ketrampilan lain yang dapat diajarkan secara lebih efisien dan cepat?
Sedangkan Snell (1983) mengemukakan empat kriteria yang hampir serupa, meliputi:
1.Tujuan-tujuan harus mengacu pada ketrampilan fungsional yang paling diperlukan oleh anak sekarang dan yang akan datang.
2.Tujuan-tujuan meliputi empat domain pembelajaran, yaitu: domestic (lingkungan sehari-hari), rekreasi-waktu luang, bermasyarakat, dan vokasional.
3.Tujuan-tujuan harus sesuai dengan usia kronologis (bukan usia mental) anak.
4.Tujuan harus tidak terlalu sulit sehingga tidak dapat dislesaikan dalam waktu setahun, atau tidak terlalu mudah sehingga telah dikuasai oleh anak.
Sebagai satu ilustrasi, di sini digambarkan ketrampilan membaca. Bagi anak-anak berkemampuan tinggi, membaca dengan pemdekatan fonik (mendalami setiap bunyi bahasa seperti a,i, u, n, b dll. secara individual) akan berguna, karena mereka diharapkan akan menggunakan kemampuan membaca untuk berbagai kegiatan lain, baik belajar lanjut ataupun hidup di masyarakat. Tetapi bagi anak luar biasa dengan kemampuan rendah, pengajaran membaca sebaiknya lebih banyak menggunakan pendekatan fungsional (membaca resep, petunjuk penggunaan obat, menu makanan, petunjuk lalu lintas, dsb), karena anak -anak ini akan menggunakan kemampuan membaca hanya untuk tujuan-tujuan fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan jangka panjang yang telah ditetapkan dan dipilih oleh anak kemudian akan dijabarkan menjadi tujuan-tujuan jangka pendek atau ada yang menggunakan istilah tujuan khusus. Proses penjabaran tujuan umum menjadi tujuan khusus ini harus melalui satu proses yag disebut analisa tugas (task analysis). Oleh Dick dan Carey (1978), analisa tugas atau juga disebut, analisa instruk
sional, adalah satu proses mengidentifikasi perangkat ketrampilan yang dipersayaratkan untuk mencapai tujuan umum yang telah ditetapkan. Misalnya, perangkat ketrampilan bermain tenis meliputi antara lain memegang raket, memegang bola, berdiri dengan posisi yang benar, melakukan serve, memukul dengan forehand, memukul dengan backhand, melakukan smesh, pukulan voley, dsb.
Ada berbagai pendapat tentang langkah-langkah dalam menetapkan jenis ketrampilan tugas yang akan dilatihkan kepada murid, tetapi sebagian besar memasukkan tiga unsur berikut ini (Snell,1983);
1.Mengidentifikasi satu tugas yang sesuai bagi seseorang murid dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan berfungsi, usia kronologis, dan tingkat kesukaran ketrampilan tersebut.
2.Memilih satu setting atau lingkungan tempat anak kemungkinan besar akan menerapkan ketrampilan ini.
3.Demonstrasikan tugas ini pada lingkungan yang telah ditetapkan tadi, amati anak lain melakukan ketrampilan tersebut.
Apabila jenis tugas telah ditetapkan, baru dapat dilakukan proses analisa tugas. Dalam hal ini ada beberapa ketentuan sebagai berikut:
1.Target perilaku harus spesifik (misalnya menyisir rambut)
2.Daftar ketrampilan dinyatakan dalam kata kerja operasional (dapat diamati dan dapat diukur).
3.Jenis ketrampilan ditulis dengan rincian yang cukup
4.Setiap ketrampilan menghasilkan perubahan proses atau produk yang dapat dilihat
5.Jenis ketrampilan disusun secara sekuensial dari yang pertama sampai yang terakhir.
Berikut contoh analisa tugas dari tujuan anak dapat menyisir rambut sendiri:
1.Mencari sisir
2.Mengambil sisir dengan satu tangan
3.Mengangkat sisir ke arah tengah atas kepala
4.Menyisir rambut di tengah kepala ke depan dengan 1/4 gigi-gigi sisir masuk ke rambut
5.Menyisir rambut di tengah kepala ke depan dengan 1/2 gigi-gigi sisir masuk ke rambut
6.Menyisir rambut di tengah kepala ke depan dengan 100% gigi-gigi sisir masuk ke rambut
berkali-kali
7.Menyisir rambut ke samping kepala dengan 1/4 gigi-gigi sisir masuk ke rambut.
8.Menyisir rambut ke samping kepala dengan 1/2 gigi-gigi sisir masuk ke kepala
9.Menyisir rambut ke samping kepala dengan 100% gigi-gigi sisir masuk ke rambut.
10.Menyisir rambut ke samping yang berlawanan dari kepala dengan 1/4 gigi-gigi sisir masuk ke
rambut
11.Menyisir rambut ke samping yang berlawanan dari kepala dengan 1/2 gigi-gigi sisir masuk ke
rambut.
12.Menyisir rambut ke samping yang berlawanan dari kepala dengan 100% gigi-gigi sisir masuk
ke rambut.
13,Menghaluskan rambut dengan tangan
14.Mengembalikan sisir.
BAB VI
RUANG LINGKUP KURIKULUM DALAM PLB
Pendidikan umum dirancang bagi peserta didik dengan tingkat kemampuan rata-rata atau di atas rata-rata. Dengan komposisi murid yang diasumsikan homogen, tanpa masalah lain yang bersifat non-akademik, pendidikan umum cenderung menggunakan kurikulum, proses belajar-mengajar, dan evaluasi yang sama pula. Tekanan kurikulum adalah pada penguasaan materi akademik seperti membaca, menulis, bahasa, matematika, ilmu alam, ilmu pengetahuan sosial, seni, dan ketrampilan. Proses pembelajaran lebih menggunakan pendekatan klasikal kompetitif.
Pendidikan luar biasa bertujuan memenuhi kebutuhan individual anak dalam belajar. Peserta didik pada pendidikan luar biasa adalah anak-anak yang mempunyai masalah, baik akademik maupun non-akademik, yang mengganggu prestasi belajarnya. Oleh karena masalah setiap anak sangat variatif, baik kualitas maupun kuantitasnya, kebutuhan individual anak juga bervariasi. Dengan demikian, layanan pendidikan yang diberikan anak luar biasa juga tidak terbatas pada aspek akademik seperti yang diberikan kepada anak-anak normal melalui pendidikan umum. Ruang lingkup PLB meliputi juga aspek-aspek non-akademik menurut kebutuhan anak.
Wehman dan McLaughlin (1981), mengidentifikasi aspek-aspek yang harus dicakup dalam kurikulum PLB, meliputi ketrampilan bina diri, perkembangan motorik, kemampuan bahasa dan wicara, ketrampilan fungsional akademik, pendidikan vokasional, dan ketrampilan rekreasi.
A.Ketrampilan bina diri.
Ketrampilan bina diri sangat pokok bagi setiap anak untukdapat mencapai kemandirian dan mampu memenuhi kebutuhan diri sendiri. Ketrampilan bina diri meliputi makan, berpakaian, bersih
diri, berhias, keselamatan diri, dan kesehatan. Ketrampilan-ketrampilan ini harus menjadi bagian pokok kurikulum bagi anak luar biasa. Dengan kemajuan teknologi, terutama pada modofikasi tingkah laku, ada harapan yang besar bahwa sebagian besar anak luar biasa akan mampu menguasai ketrampilan-ketrampilan tersebut.
Pembinaan kemampuan bina diri akan sangat bermanfaat bagi anak luar biasa, karena akan memungkinkan anak-anak cacat tinggal dengan keluarga dan masyarakat umum, tidak harus menghuni panti-panti penampungan selamanya. Jika seorang anak dapat makan sendiri, ke kamar kecil sendiri, menjaga kesehatan dan keselamatan sendiri, orangtua akan lebih merasa tentram. Pembinaan ketrampilan bina diri juga perlu diajarkan kepada orangtua, karena dengan demikian, intervensi dini bagi anak cacat sangat dimungkinkan. Sejak diketahui anaknya menyandang kelainan, orangtua dapat sedini mungkin melatih bina diri pada anaknya. Kecuali itu, hanya dengan kerjasama dan bantuan orangtua, pembinaan ketrampilan bina diri akan berhasil, karena sebagian ketrampilan ini akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di rumah.
1.Perkembangan ketrampilan menggunakan kamar kecil (toileting)
0 - 12 bulan
12 - 18 bulan mengendalikan kemauan buang air besar terjadwal
18 - 22 bulan mengendalikan kemauan biang air kecil terjadwal
22 bulan mengatakan keinginan ke kamar kecil mulai ke kamar kecil sendiri
3 tahun ke kamar kecil sendiri tanpa bantuan
2.Perkembangan ketrampilan makan
0 - 4 bulan reflek menelan dan mengisap mengantisipasi makanan yang terlihat
4 - 8 bulan makan makanan padat
duduk sendiri menggigit jari memegang botol minuman
8 - 12 bulan minum dari cangkir dengan bantuan
mengunyah makanan
memegang dengan jari
12 - 18 bulan berhenti minum enganbotol
mengembalikan tempat makanan yang habis
18 - 22 bulan membuka bungkus premen
mulai makan sendiri,meskipun masih tumpah
minum dari cangkir tanpa bantuan
menggunakan sendok
22 - 24 bulan menggunakan garpu
24 - 36 bulan mengambil minum sendiri
menggunakan sedotan
3 - 9 tahun menggunakan serbit makan
menggunakan pisau makan
3.Perkembangan ketrampilan berpakaian
0 - 8 bulan diam jika diberi pakaian
8 - 12 bulan melepas kaus kaki
suka melepas topi
12 - 22 bulan melepas sepatu
membuka resluiting
22 - 24 bulan melepas baju
24 - 36 bulan memakai baju
memakai sepatu
meepas kancing baju
3 - 6 tahun mengenakan kancing baju
melepas atau memakai baju
melepas tali sepatu
mengenal depan dan belakang baju
6 - 9 tahun menalikan sepaktu, memilih baju sendiri
12 tahun mandiri
4.Perkembangan ketrampilan berhias dan menjaga kesehatan.
24 - 36 bulan mencuci dan mengeringkan tangan
3 - 6 tahun membasuh muka
menyikat gigi
mandi dengan bantuan
bersisi (hidung) sendiri
batuk dan bersin secara sopan
6 - 9 tahun mandi tanpa bantuan
menggunakan sampo
membersihkan dan menyisir rambut
9 - 12 tahun menggunakan alat-alat hias
B.Perkembangan motorik
Perkembangan motorik merupakan bagian dari proses pertumbuhan secara integral, dan pembinaan pertumbuhan ini harus merupakan bagian dari kurikulum bagi penyandang cacat. Ketrampilan dasar motorik merupakan prasyarat bagi berbagai ketrampilan lain, termasuk bina diri, bermain, dan tugas-tugas akademik maupun kognitif. Anak luar biasa yang tidak dapat memegang benda dengan benar tidak akan mampu memakai baju sendiri. Anak yang mempunyai keterbatasan mobilitas tidak akan dapat terlibat dalam berbagai kegiatan bermain.
Beberapa ketrampilan motorik kasar antara lain meliputi:
1.Berguling
2.Merangkak
3.Duduk
4.Berdiri : berlutut di kursi
setengah berlutut di kursi
melepaskan tangan dari kursi
berdiri dekat obyek lain
berdiri sendiri
5.Berjalan: berdiri tegak
berjalan dengan dua tangan berpegangan
berjalan dengan satu tangan berpegangan
melangkah sendiri
berjalan sendiri
6.Naik tangga
7.Melompat
8.Menyepak
Sedangkan ketrampilan gerak halus dapat dilatihkan kepada anak, misalnya dengan:
-menggerakkan tangan menjangkau satu benda
-menyentuh benda
-membuka tangan
-menutup tangan
-memegang benda, dsb.
Ketrampilan gerak motorik halus ini akan dipakai dalam berbagai ketrampilan lain, seperti memegang sendok, menulis, memutar nomor telepon, membuka amplop atau bungkus, menguncipintu, dsb.
C.Pembinaan bahasa dan wicara.
Banyak anak luar biasa yang mengalami masalah berkomunikasi. Masalah yag dialami oleh setiap anak bervariasi dalam hal jenis masalah dan berapa lama masalah tersebut telah dialami. Blue (dalam Wehman dan McLaughlin, 1983) mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem simbol yang dikembangkan oleh manusia, berupa lambang-lambang, yaitu lambang bendam kejadian, atau perasaan. Sedangkan wicara didefinisikan sebagai sarana otot dan syaraf manusia untuk menyampaikan bahasa. Dan komunikasi didefinisikan sebagai dampak akhir dari bahasa dan aspek ekspresif - motorik bahasa tersebut, dengan adanya unsur penerima yang telah memiliki pengalaman dan pengetahuan komparatif tentang bahasa tersebut.
Untuk lebih memahami jenis kelainan yang dialami anak dalam penggunaan bahasa, ada baiknya dilihat dimensi bahasa dan wicara sebagai berikut:
1.Bahasa: interaksi komunikatif, kesesuaian, kontinyuitas
kosakata
variasi morfologis kosakata
pengaturan kosakata menjadi kalimat
panjang ucapan
variasi ucapan untuk membedakan makna
2.Wicara: suara
artikulasi
kelancaran
Dengan mengenal dimensi bahasa dan wicara di atas, upaya membantu anak yang mengalami masalah bahasa, wicara, atau komunikasi diharapkan lebih mengenai sasaran, yaitu dimensi yang memang tidak dikuasai anak.
D.Bimbingan vokasional.
Dengan semakin besarnya angka pengangguran di seluruh dunia, latihan kerja dan program rehabilitasi menjadi semakin penting. Demikian juga halnya, anak luar biasa memerlukan bimbingan karier dan pendidikan ketrampilan. Tanpa pelatihan dan persiapan yang sistematis untuk memasuki dunia kerja, kecil kemungkinan anak luar biasa dapat memperoleh pekerjaan.
Wehman dan McLaughlin (1983) mengidentifikasi 6 bidang yang termasuk dalam pendidikan vokasional, yaitu:
1.Bidang layanan makanan (menyiapkan bahan, menggunakan kompor, menyajikan, mencuci alat-alat)
2.Ketrampilan perkantoran (melipat kertas, membuat amplop, mengetik, membersihkan alat-alat kantor, menggunakan komputer dan alatkantor lain)
3.Bidang kebersihan (memotong rumput, mengepel lantai)
4.Bidang industri rumah tangga (menggunakan gunting, drei, pukul, paku, gergaji)
5.Ketrampilan holtikultura (teknik bercocok tanam, menggunakan alat pertanian, memanfaatkan produksi pertanian).
6.Domestik (ketrampilan rumah tangga, memasang sprei, membetulkan tempat tidur, mengatur meja makan, membersihkan kamar kecil).
E.Rekreasi.
Bagi anak luar biasa, program pendidikan yang memberi perhatian pada bidang rekreasi sangat penting. Penguasaan ketrampilan rekreatif mungkin dapat memperbaiki ketrampilan berkomunikasi, ketrampilan motorik, sosialisasi, dan kemampuan kognitif.
Kegiatan rekreatif sering dikelompokkan menjadi empat bidang, yaitu manipulasi obyek (bermacam-macam mainan yang dapat dipakai sendiri), games (permainan lebih dari satu orang, misal-nya dengan kartu, catur, musik), hobi (mengumpulkan perangko, kaset), dan olahraga.
F.Ketrampilan akademik fungsional
Ketrampilan akademik dasar meliputi membaca, menulis, dan berhitung. Bagi anak luar biasa, ketrampilan akademik dasar harus dirancang fungsional, artinya langsung dikaitkan dengan kegiatan sehari-hari.
Pengajaran membaca, misalnya, dikaitkan dengan materi sehari-hari seperti membaca menu makanan, membaca tanda lalu lintas, resep obat, petunjuk penggunaan obat dsb. Pengajaran menulis dikaitkan dengan pengisian berbagai formulir, menulis lamaran, membuat catatan. Sedangkan pengajaran matematika berisi materi menghitung uang, berbelanja.
Komentar
Posting Komentar