Ketidaksadarn Kolektif
WACANA NASIONAL
KETIDAKSADARAN KOLEKTIF DALAM REFLEKSI AKHIR TAHUN
Manusia memiliki dua dimensi kesadaran. Dalam ilmu Psikologi, konsep dasar untuk memahami manusia adalah tentang dinamika Psike. Secara etimologi Psike berarti seluruh proses kejiwaan manusia yang meliputi kesadaran dan ketidaksadarannya sebagai suatu totalitas kepribadian. Kesadaran manusia hanya berperan sebanyak 12% dan sisanya adalah ketidaksadaran (88%). Manusia memiliki potensi besar untuk melakukan tindakan yang tidak disadari dalam berperilaku sehari-hari.
Seorang ahli Psikologi Analitis, Carl Gustav Jung atau lebih dikenal dengan C.G. Jung (baca: Yung), menawarkan sebuah konsep Psike yang terdiri dari beberapa wilayah kejiwaan. Dunia kejiwaan, menurutnya terdiri dari; kesadaran, ketidaksadaran personal, dan ketidaksadaran kolektif. Dalam kesadaran, manusia dapat berhubungan langsung dengan dunia luar, dimana manusia bisa mengindera (sensation), berpikir secara logis (thinking), merasakan (feeling), meng-intuisi, dan memakai ingatannya (memory). Sedangkan dalam ketidaksadaran yang dibagi lagi menjadi 2 wilayah tersendiri, terdapat ketidaksadaran personal dan ketidaksadaran kolektif. Ketidaksadaran personal berisi kompleks yaitu sekumpulan perasan, pikiran, dan persepsi yang berhubungan dengan tema emosional tertentu. Misalnya, kata ”IBU” yang ditanyakan pada seseorang akan memiliki berbagai konsep yang unik dalam benak orang tersebut.
Wilayah terakhir adalah wilayah ketidaksadaran kolektif. Dalam ketidaksadaran kolektif ini berisi apa yang disebut dengan Arketipe-Arketipe. Arketipe (La Kahija, 2006 dalam Eksplorasi Ketidaksadaran) adalah kekuatan psikis terpenting yang paling dasar dalam kepribadian manusia. Secara umum arketipe adalah model awal atau blue-print yang menjadi pola dasar terbentuknya model-model lain. Setiap manusia memiliki arketipe ini, walau tampakan riilnya berbeda (ras, suku bangsa/warna kulit), tetapi setiap manusia memiliki cetak biru yang sama, yang telah diwariskan oleh manusia sebelumnya. Arketipe ini bersifat universal dan ada pada setiap manusia, walau tersembunyi.
Arketipe ini memiliki lima macam jenis yang utama, antaranya: Persona (topeng), Anima-Animus, Shadow, Kepribadian Mana, dan Self. Persona adalah arketipe yang selalu dimiliki oleh setiap manusia. Dengan persona, manusia melakukan peranannya sesuai dengan tuntutan sosialnya. Sebagai manusia yang terikat dengan kehidupan sosial, manusia dituntut untuk menyelaraskan diri dimana ia sedang berada. Pada saat dirumah, seorang laki-laki bisa berperan menjadi ayah bagi anaknya dan menjadi suami bagi istrinya, sedang diluar rumah perannya berganti menjadi seorang jaksa, misalnya, yang seharusnya tidak ”pandang bulu” dalam mendakwa ”pesakitan” hukum karena tuntutan sosial yang mewajibkannya untuk menjadi sisi yang netral. Dari tahun ke tahun sejak era reformasi, banyak sekali para koruptur yang telah menampakkan sikap aslinya dengan menanggalkan persona-nya.
Catatan akhir tahun dalam SM (24/12), yang menuliskan bahwa korupsi di Jateng naik 100% membuktikan bahwa persona yang dipakai oleh para pejabat di lingkungan Jateng ini tidak ada gunanya lagi dan sudah masuk tong sampah. Pejabat korup yang seharusnya berperan sebagai pemimpin yang adil malah bertindak zalim dengan mengais yang bukan haknya. Mengapa mereka menammpakkan wajah aslinya dan menanggalkan personanya? Ini tak lain akibat terlalu banyaknya persona yang dimilikinya, sebagai seorang pejabat dia dituntut untuk berperilaku sesuai sumpah jabatan, sebagai suami/istri dan menjadi orangtua anak-anaknya dia dituntut untuk membahagiakan mereka, sebagai seorang simpatisan ”partai” dia dituntut untuk menyokong lembaganya, sebagai pejabat publik dia dituntut berperan menjadi donatur untuk kesejahteraan rakyatnya dan tentu saja menaikkan citra diri, dan sebagai manusia pribadi dia menuntut untuk mendapatkan hasil yang lebih dari seharusnya. Semuanya terakumulasi dalam diri seorang manusia dan tak jarang ada benturan kepentingan disana sehingga menyebabkan personanya goncang dalam menempatkan dirinya berdasarkan tempat ia seharusanya sadar berdiri di lingkup sosial yang mana. Kelemahan terbesar manusia adalah gampang tergoda, dan persona yang terlalu banyak mencitrakan diri seseoranglah yang paling mudah digoda untuk berperilaku yang bukan fitrahnya (bertindak sebagai khalifah yang adil).
Anima-Animus adalah arketipe kedua dimana arketipe ini memiliki konsep tentang jiwa yang saling berkebalikan. Dalam diri seorang laki-laki memiliki sisi feminin, sebaliknya dalam jiwa seorang perempuan terdapat pula sisi maskulin. Sepanjang tahun 2008 ini, fenomena mutilasi silih berganti bermunculan. Dari kekagetan pemberitaan ”jagal” dari Jombang, penemuan mayat di sebuah bus, hingga yang terakhir pembunuhan di Kopeng Semarang membuat banyak orang bertanya-tanya, kenapa tega melakukan perbuatan nista seperti itu? Dalam kasus Ryan, sebagai seorang lelaki fitrahnya adalah menyenangi perempuan tetapi ternyata anima-nyalah yang menguasai dirinya. Ryan menjadi sosok feminin yang cemburu buta melakukan mutilasi akibat terpicu oleh pesaingnya dalam memperoleh cinta sesamanya. Sosok anima yang lebih menekankan perasaan diatas rasio membuat orang yang terkuasainya menjadi tidak rasional dalam mengambil keputusan untuk bertindak. Hal ini sesuai dengan sisi feminin pada wanita umumnya yang lebih mengandalkan aspek perasaan daripada rasionalitas. Sedangkan pada penemuan mayat yang dimutilasi dalam sebuah bus, masyarakat dikagetkan dengan terkuaknya identitas pelaku yang ternyata seorang perempuan. Animus bereperan besar dalam diri pelaku, yang mencitrakan dirinya sebagai tampilan yang memiliki kekuatan dan bisa mendominasi (mengontrol) lingkungannya, dominasi adalah simbol dari kejantanan. Perilaku yang tega membunuh dan memutilasi korban yang ternyata adalah suaminya, menunjukkan adanya suatu otoritas yang ingin ditampilkan oleh pelaku pada lingkungan sosialnya terlebih pada sosok suaminya yang mengejawantahkan kalimat, ”Aku juga bisa jadi seperti kamu”, laki-laki yang mendominasi. Memang banyak motif yang melingkupi kedua contoh kasus diatas tetapi yang utama adalah manusia yang memiliki jenis kelamin saat lahir tidak bisa lepas dari pewarisan blue-print dari nenek moyangnya berupa anima-animus. Seharusnya manusia bisa lebih menyadari kondisi fisiknya dalam melakukan suatu peranan dan cukup menyadari adanya anima-animus dalam diri tanpa harus dikuasai untuk menampilkan identitas sebagai lawan jenisnya.
Kasus terhangat dari akhir tahun 2008 adalah adanya pemberantasan premanisme. Berbagai media, baik cetak maupun elektronik mengangkat pemberitaan tentang maraknya razia preman oleh para aparat yang berwajib. Dalam ketidaksadaran kolektif terdapat arketipe yang bernama Shadow atau yang berarti bayangan dan sisi gelap manusia, dimana simbolisasinya adalah sesuatu yang mengerikan, menjijikkan, dan membuat manusia ketakutan begitu rupa. Premanisme tidak akan bisa diberantas secara tuntas selalu akan ada yang terus tumbuh menggantikan posisi yang ditinggalkan. Seperti halnya Shadow, arketipe ketiga, yang selalu ada dalam diri manusia, walau sudah ditolak untuk ditampilkan akan terus bercokol dikedalaman diri. Seorang preman yang beringas menampilkan lebih banyak Shadow yang memposisikan diri sebagai orang yang seram, sangar, agresif, dan memaksakan kehendak instingtifnya (nafsu). Jalan keluar dalam menjinakkan Shadow adalah dengan mengakui keberadannya, menerima sisi tergelap yang memang sudah ada dari sononya. Dalam konteks memperlakukan para preman, hendaknya kita dapat bersikap bijak untuk merangkul mereka dan mencari penyelesaian terbaik atas tingkah laku yang meresahkan masyarakat tanpa harus ”menghabisi” satu per satu nyawa mereka.
Arketipe keempat, adalah Kepribadian Mana yang berarti kekuatan suci atau Ilahi. Mencuatnya lagi kasus Lia Eden dengan tampilannya yang berani untuk membubarkan semua agama pantas mewakili kehadiran Kepribadian Mana dalam dirinya. Pada diri manusia terdapat sebuah kekuatan yang powerfull yang berintikan kebijaksanaan. Orang yang bisa menampilkan Kepribadian Mananya secara wajar akan memperoleh suatu kekuatan dahsyat yang membawa diri pada tataran kebijakan yang lebih tinggi dari manusia umumnya. Sayangnya pada kasus Lia Eden dengan kerajaan surganya, Kepribadian Mana ini telah membanjiri jiwanya yang menyebabkan mengalami Megalomania. Megalomania adalah sebuah gangguan mental yang dicirikan dengan adanya delusi grandiosis dimana dia memiliki keyakinan bahwa dirinya adalah seorang Nabi dan menganggap dirinya punya kuasa atas segala hal. Secara sehat, manusia seharusnya sadar diri bahwa dia memiliki Kepribadian Mana dan dapat memperlakukannya secara wajar, karena jika dia sudah kebanjiran Mana yang ada hanya kesombongan (ketakaburan) yang nyata.
Arketipe yang paling tersembunyi adalah Self. Self dimiliki oleh setiap manusia tetapi hanya sedikit manusia yang bisa menjangkau Self-nya. Self adalah diri terdalam, pusat dari arketipe. Self tersembunyi diantara arketipe-arketipe yang lain dan memperoleh kekuatan darinya. Pencarian diri terdalam inilah fitrah manusia sesungguhnya, dimana manusia diwajibkan untuk menemukan “diri” di dalam dirinya. Proses pencarian diri ini disebut dengan Individuasi Diri (Self Individuation). Manusai modern kini telah melupakan fitrahnya untuk mencari Self ini sehingga membuat kaum manusia menjadi berperilaku abnormal dan mengalami patologis, salah satu perwujudannya adalah manusia menjadi kaum yang hedonis, individualistis (apatis), kapitalis, dan menyingkirkan ajaran agamanya. Kasus bunuh diri, pembunuhan, penyerangan, dan tawur massal diantaranya adalah refleksi dari ketidakmampuan manusia dalam menarik Self-nya. Sebagai manusia yang paripurna dan sehat, seharusnya dalam masing-masing diri individu mau menggali diri dengan analisis diri untuk bisa bertemu Self-nya.
Tugas akhir tahun kita sekarang adalah menganalisis diri, sejauh mana kita telah memperlakukan diri, melakukan kegiatan apa saja, dan telah mendapatkan hasil apa untuk selanjutnya menemukan apa yang terdalam dari semua rangkaian hidup yang telah terlewati satu tahun ini. Seperti nasehat bijak dari Ki Ageng Soerjamentraman, tokoh yang menginspirasi dalam Psikologi Jawa yang didedah oleh Budayawan Darmanto Jatman, tidak ada salahnya kita sebagai manusia lebih mawas diri dalam mengarungi tahun selanjutnya menghadapi masa yang penuh dengan “kesamaran”, misalnya merespon dengan bijak terpaan krisis global yang membayangi nasib kaum buruh. Selamat menyelami diri!
KETIDAKSADARAN KOLEKTIF DALAM REFLEKSI AKHIR TAHUN
Manusia memiliki dua dimensi kesadaran. Dalam ilmu Psikologi, konsep dasar untuk memahami manusia adalah tentang dinamika Psike. Secara etimologi Psike berarti seluruh proses kejiwaan manusia yang meliputi kesadaran dan ketidaksadarannya sebagai suatu totalitas kepribadian. Kesadaran manusia hanya berperan sebanyak 12% dan sisanya adalah ketidaksadaran (88%). Manusia memiliki potensi besar untuk melakukan tindakan yang tidak disadari dalam berperilaku sehari-hari.
Seorang ahli Psikologi Analitis, Carl Gustav Jung atau lebih dikenal dengan C.G. Jung (baca: Yung), menawarkan sebuah konsep Psike yang terdiri dari beberapa wilayah kejiwaan. Dunia kejiwaan, menurutnya terdiri dari; kesadaran, ketidaksadaran personal, dan ketidaksadaran kolektif. Dalam kesadaran, manusia dapat berhubungan langsung dengan dunia luar, dimana manusia bisa mengindera (sensation), berpikir secara logis (thinking), merasakan (feeling), meng-intuisi, dan memakai ingatannya (memory). Sedangkan dalam ketidaksadaran yang dibagi lagi menjadi 2 wilayah tersendiri, terdapat ketidaksadaran personal dan ketidaksadaran kolektif. Ketidaksadaran personal berisi kompleks yaitu sekumpulan perasan, pikiran, dan persepsi yang berhubungan dengan tema emosional tertentu. Misalnya, kata ”IBU” yang ditanyakan pada seseorang akan memiliki berbagai konsep yang unik dalam benak orang tersebut.
Wilayah terakhir adalah wilayah ketidaksadaran kolektif. Dalam ketidaksadaran kolektif ini berisi apa yang disebut dengan Arketipe-Arketipe. Arketipe (La Kahija, 2006 dalam Eksplorasi Ketidaksadaran) adalah kekuatan psikis terpenting yang paling dasar dalam kepribadian manusia. Secara umum arketipe adalah model awal atau blue-print yang menjadi pola dasar terbentuknya model-model lain. Setiap manusia memiliki arketipe ini, walau tampakan riilnya berbeda (ras, suku bangsa/warna kulit), tetapi setiap manusia memiliki cetak biru yang sama, yang telah diwariskan oleh manusia sebelumnya. Arketipe ini bersifat universal dan ada pada setiap manusia, walau tersembunyi.
Arketipe ini memiliki lima macam jenis yang utama, antaranya: Persona (topeng), Anima-Animus, Shadow, Kepribadian Mana, dan Self. Persona adalah arketipe yang selalu dimiliki oleh setiap manusia. Dengan persona, manusia melakukan peranannya sesuai dengan tuntutan sosialnya. Sebagai manusia yang terikat dengan kehidupan sosial, manusia dituntut untuk menyelaraskan diri dimana ia sedang berada. Pada saat dirumah, seorang laki-laki bisa berperan menjadi ayah bagi anaknya dan menjadi suami bagi istrinya, sedang diluar rumah perannya berganti menjadi seorang jaksa, misalnya, yang seharusnya tidak ”pandang bulu” dalam mendakwa ”pesakitan” hukum karena tuntutan sosial yang mewajibkannya untuk menjadi sisi yang netral. Dari tahun ke tahun sejak era reformasi, banyak sekali para koruptur yang telah menampakkan sikap aslinya dengan menanggalkan persona-nya.
Catatan akhir tahun dalam SM (24/12), yang menuliskan bahwa korupsi di Jateng naik 100% membuktikan bahwa persona yang dipakai oleh para pejabat di lingkungan Jateng ini tidak ada gunanya lagi dan sudah masuk tong sampah. Pejabat korup yang seharusnya berperan sebagai pemimpin yang adil malah bertindak zalim dengan mengais yang bukan haknya. Mengapa mereka menammpakkan wajah aslinya dan menanggalkan personanya? Ini tak lain akibat terlalu banyaknya persona yang dimilikinya, sebagai seorang pejabat dia dituntut untuk berperilaku sesuai sumpah jabatan, sebagai suami/istri dan menjadi orangtua anak-anaknya dia dituntut untuk membahagiakan mereka, sebagai seorang simpatisan ”partai” dia dituntut untuk menyokong lembaganya, sebagai pejabat publik dia dituntut berperan menjadi donatur untuk kesejahteraan rakyatnya dan tentu saja menaikkan citra diri, dan sebagai manusia pribadi dia menuntut untuk mendapatkan hasil yang lebih dari seharusnya. Semuanya terakumulasi dalam diri seorang manusia dan tak jarang ada benturan kepentingan disana sehingga menyebabkan personanya goncang dalam menempatkan dirinya berdasarkan tempat ia seharusanya sadar berdiri di lingkup sosial yang mana. Kelemahan terbesar manusia adalah gampang tergoda, dan persona yang terlalu banyak mencitrakan diri seseoranglah yang paling mudah digoda untuk berperilaku yang bukan fitrahnya (bertindak sebagai khalifah yang adil).
Anima-Animus adalah arketipe kedua dimana arketipe ini memiliki konsep tentang jiwa yang saling berkebalikan. Dalam diri seorang laki-laki memiliki sisi feminin, sebaliknya dalam jiwa seorang perempuan terdapat pula sisi maskulin. Sepanjang tahun 2008 ini, fenomena mutilasi silih berganti bermunculan. Dari kekagetan pemberitaan ”jagal” dari Jombang, penemuan mayat di sebuah bus, hingga yang terakhir pembunuhan di Kopeng Semarang membuat banyak orang bertanya-tanya, kenapa tega melakukan perbuatan nista seperti itu? Dalam kasus Ryan, sebagai seorang lelaki fitrahnya adalah menyenangi perempuan tetapi ternyata anima-nyalah yang menguasai dirinya. Ryan menjadi sosok feminin yang cemburu buta melakukan mutilasi akibat terpicu oleh pesaingnya dalam memperoleh cinta sesamanya. Sosok anima yang lebih menekankan perasaan diatas rasio membuat orang yang terkuasainya menjadi tidak rasional dalam mengambil keputusan untuk bertindak. Hal ini sesuai dengan sisi feminin pada wanita umumnya yang lebih mengandalkan aspek perasaan daripada rasionalitas. Sedangkan pada penemuan mayat yang dimutilasi dalam sebuah bus, masyarakat dikagetkan dengan terkuaknya identitas pelaku yang ternyata seorang perempuan. Animus bereperan besar dalam diri pelaku, yang mencitrakan dirinya sebagai tampilan yang memiliki kekuatan dan bisa mendominasi (mengontrol) lingkungannya, dominasi adalah simbol dari kejantanan. Perilaku yang tega membunuh dan memutilasi korban yang ternyata adalah suaminya, menunjukkan adanya suatu otoritas yang ingin ditampilkan oleh pelaku pada lingkungan sosialnya terlebih pada sosok suaminya yang mengejawantahkan kalimat, ”Aku juga bisa jadi seperti kamu”, laki-laki yang mendominasi. Memang banyak motif yang melingkupi kedua contoh kasus diatas tetapi yang utama adalah manusia yang memiliki jenis kelamin saat lahir tidak bisa lepas dari pewarisan blue-print dari nenek moyangnya berupa anima-animus. Seharusnya manusia bisa lebih menyadari kondisi fisiknya dalam melakukan suatu peranan dan cukup menyadari adanya anima-animus dalam diri tanpa harus dikuasai untuk menampilkan identitas sebagai lawan jenisnya.
Kasus terhangat dari akhir tahun 2008 adalah adanya pemberantasan premanisme. Berbagai media, baik cetak maupun elektronik mengangkat pemberitaan tentang maraknya razia preman oleh para aparat yang berwajib. Dalam ketidaksadaran kolektif terdapat arketipe yang bernama Shadow atau yang berarti bayangan dan sisi gelap manusia, dimana simbolisasinya adalah sesuatu yang mengerikan, menjijikkan, dan membuat manusia ketakutan begitu rupa. Premanisme tidak akan bisa diberantas secara tuntas selalu akan ada yang terus tumbuh menggantikan posisi yang ditinggalkan. Seperti halnya Shadow, arketipe ketiga, yang selalu ada dalam diri manusia, walau sudah ditolak untuk ditampilkan akan terus bercokol dikedalaman diri. Seorang preman yang beringas menampilkan lebih banyak Shadow yang memposisikan diri sebagai orang yang seram, sangar, agresif, dan memaksakan kehendak instingtifnya (nafsu). Jalan keluar dalam menjinakkan Shadow adalah dengan mengakui keberadannya, menerima sisi tergelap yang memang sudah ada dari sononya. Dalam konteks memperlakukan para preman, hendaknya kita dapat bersikap bijak untuk merangkul mereka dan mencari penyelesaian terbaik atas tingkah laku yang meresahkan masyarakat tanpa harus ”menghabisi” satu per satu nyawa mereka.
Arketipe keempat, adalah Kepribadian Mana yang berarti kekuatan suci atau Ilahi. Mencuatnya lagi kasus Lia Eden dengan tampilannya yang berani untuk membubarkan semua agama pantas mewakili kehadiran Kepribadian Mana dalam dirinya. Pada diri manusia terdapat sebuah kekuatan yang powerfull yang berintikan kebijaksanaan. Orang yang bisa menampilkan Kepribadian Mananya secara wajar akan memperoleh suatu kekuatan dahsyat yang membawa diri pada tataran kebijakan yang lebih tinggi dari manusia umumnya. Sayangnya pada kasus Lia Eden dengan kerajaan surganya, Kepribadian Mana ini telah membanjiri jiwanya yang menyebabkan mengalami Megalomania. Megalomania adalah sebuah gangguan mental yang dicirikan dengan adanya delusi grandiosis dimana dia memiliki keyakinan bahwa dirinya adalah seorang Nabi dan menganggap dirinya punya kuasa atas segala hal. Secara sehat, manusia seharusnya sadar diri bahwa dia memiliki Kepribadian Mana dan dapat memperlakukannya secara wajar, karena jika dia sudah kebanjiran Mana yang ada hanya kesombongan (ketakaburan) yang nyata.
Arketipe yang paling tersembunyi adalah Self. Self dimiliki oleh setiap manusia tetapi hanya sedikit manusia yang bisa menjangkau Self-nya. Self adalah diri terdalam, pusat dari arketipe. Self tersembunyi diantara arketipe-arketipe yang lain dan memperoleh kekuatan darinya. Pencarian diri terdalam inilah fitrah manusia sesungguhnya, dimana manusia diwajibkan untuk menemukan “diri” di dalam dirinya. Proses pencarian diri ini disebut dengan Individuasi Diri (Self Individuation). Manusai modern kini telah melupakan fitrahnya untuk mencari Self ini sehingga membuat kaum manusia menjadi berperilaku abnormal dan mengalami patologis, salah satu perwujudannya adalah manusia menjadi kaum yang hedonis, individualistis (apatis), kapitalis, dan menyingkirkan ajaran agamanya. Kasus bunuh diri, pembunuhan, penyerangan, dan tawur massal diantaranya adalah refleksi dari ketidakmampuan manusia dalam menarik Self-nya. Sebagai manusia yang paripurna dan sehat, seharusnya dalam masing-masing diri individu mau menggali diri dengan analisis diri untuk bisa bertemu Self-nya.
Tugas akhir tahun kita sekarang adalah menganalisis diri, sejauh mana kita telah memperlakukan diri, melakukan kegiatan apa saja, dan telah mendapatkan hasil apa untuk selanjutnya menemukan apa yang terdalam dari semua rangkaian hidup yang telah terlewati satu tahun ini. Seperti nasehat bijak dari Ki Ageng Soerjamentraman, tokoh yang menginspirasi dalam Psikologi Jawa yang didedah oleh Budayawan Darmanto Jatman, tidak ada salahnya kita sebagai manusia lebih mawas diri dalam mengarungi tahun selanjutnya menghadapi masa yang penuh dengan “kesamaran”, misalnya merespon dengan bijak terpaan krisis global yang membayangi nasib kaum buruh. Selamat menyelami diri!
Komentar
Posting Komentar