Gender Yuks...

BAB I
PENDAHULUAN

Gender dan berbagai hal mengenainya telah lama menjadi isu yang sensitif. Berbagai pandangan, teori serta ulasan mengenai gender dengan mudah ditemui dalam keseharian. Dalam makalah ini akan membahas tentang gender dan gerakan kaum feminis dalam memperjuangkan hak perempuan dalam ketertindasan dalam meraih haknya dalam pengembangan profesi, seperti dalam karir politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya, yang merupakan impian dari seorang manusia di dalam kehidupan berkeluarga (pernikahan). Di satu sisi kaum perempuan merasa terpojokkan namun di sisi lainnya dalam realitas yang ada, terdapat kasus-kasus fenomenal seperti adanya ikatan suami takut istri yang sering dijadikan bahan tertawaan oleh masyarakat umum, karena memandang para suami yang tidak berani melawan kehendak istri mereka. Memang tidak ada data yang pasti untuk membuktikan kebenarannya karena belum ada penelitian tentang ini di dunia, khususnya di Indonesia, karena bukan musykil bila penelitian itu tergulirkan pastinya akan menemui hambatan besar karena hal tersebut masih dianggap tabu dan memalukan bila realitas yang ada mendukung hasil penelitian tersebut.
Dalam makalah ini akan menyinggung tentang dinamika dalam kehidupan berumahtangga yang sering diperjuangkan kaum feminis karena menganggap bahwa korban dinamika tersebut banyak dari pihak perempuan. Hal ini terkontradiksi dengan adanya fenomena kasus suami takut istri dalam budaya patriarki dengan gerakan feminisme yang menentang keras budaya patriarki. Dengan adanya media yang menyebarluaskan tentang fenomena tersebut kiranya bisa menjadi bahan pertimbangan para feminis yang gencar melakukan aksinya yang terkadang sudah melampaui batas dengan mengingkari tugas perempuan sesuai kodratnya untuk melaksanakan misi melanjutkan peradaban manusia, dalam hal ini meneruskan nyawa dengan kehadiran anak yang akan membangun generasi manusia selanjutnya.




BAB II
ISI
Pembahasan Teori
Gender
Gender, oleh Oakley (1972) dalam Sex, Gender and Society berarti perbedan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen bebeda. Sedang gender adalah perbedan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Menurut Caplan (1987) dalam The Cultural Construction of Sexuality, gender itu berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kealmin biologis (sex) akan tetap tidak berubah. Perbedaan gender pada proses berikutnya melahirkan peran gender (gender role) dan dianggap tidak menimbulkan masalah. Perempuan secara biologis (kodrat), dengan organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan, menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagi perawat, pengasuh dan pendidik anak sesungguhnya tidak ada masalah dan tidak ada gugatan. Tetapi yang menjadi masalah dan perlu digugat dengan menggunakan analisis gender adalah struktur “ketidakadilan” yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender tersebut.
Lewat studi analisis gender ternyata banyak ditemukan berbagai manifestasi ketidakadialan diantaranya: terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan; terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin, umumnya kepada kaum perempuan; pelabelan negatif (stereotipe) kepada jenis kelamin tertentu, dan akibat dari stereotipe itu terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya; kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, karena perbedaan gender; peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (burden), atau dengan kata lain peran gender perempuan mengelola, menjaga dan memelihara kerapian tersebut, telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik. Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling berkait dan secara dialektika saling mempengaruhi.

Feminisme
Pada umumnya orang berprasangka bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata sosial yang ada, misalnya institusi rumah tangga, perkawinan maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari apa yang disebut kodrat. Dengan kesalahpahaman itu gerakan feminisme acap kali kurang mendapat tempat di kalangan perempuan tetapi juga ditolak oleh masyarakat. Feminisme merupakan gerakan yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta harus ada upaya mengakhirinya. Feminisme adalah aliran berpikir sekaligus gerakan yang mencoba melakukan perlawanan terhadap gagasan ideologis dan semua sistem dominasi yang menghancurkan perempuan. Rosemarie Tong (1989) dalam Feminist Thought, menjelaskan ragam usaha feminis kedalam berbagai aliran misalnya feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme Marxis dan feminisme sosialis, eco-feminisme dan masih banyak lagi. Hakikat perjuangan feminisme yang bermacam itu adalah demi kesamaan, martabat, dan kebebasan untuk mengontrol raga dan kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah.

Aliran feminisme dibagi menjadi dua aliran besar yaitu:

Aliran Fungsionalisme
Aliran fungsionalisme struktural ini dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Mereka berkeyakinan bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian dan saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik sampai keluarga) dan masing-masing bagian secara terus menerus mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni, sehingga dapat menjelaskan posisi mereka tentang kaum perempuan. Oleh karena harmoni dan integrasi dipandang fungsional, bernilai tinggi dan harus ditegakkan sedangkan konflik harus dihindarkan, maka status quo harus dipertahankan.
Pengaruh fungsionalisme dapat ditemui dalam pemikiran Feminisme Liberal. Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi perempuan. Asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (fredom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada ‘kesempatan yang sama dan hak yang sama’. Feminisme liberal tidak pernah mempertanyakan diskriminasi akibat ideologi patriarki, sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal maupun analisis atas struktur kelas, politik, ekonomi serta gender sebagaimana dipermasalahkan gerakan feminis sosialis. Pengaruh feminisme liberal terekspresi dalam teori modernisasi dan program global yang dikenal sebagai Women in Development, persoalan perempuan dianggap sebagai suatu masalah (anomaly) bagi perekonomian modern atau partisipasi politik maupun pembangunan. Keterbelakangan kaum perempuan menurut feminis liberal, selain akibat dari sikap irrasional yang sumbernya karena berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional, juga karena kaum perempuan tidak berpartisipasi dalam pembangunan.

Aliran Konflik
Sosiologi konflik merupakan aliran ilmu sosial yang menjadi alternatif dari aliran sosiologi fungsionalisme. Setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang adalah pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan kaum laki-laki dan perempuan. Gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai senjata untuk menguasai dan melegitimasi kekuasan, tidak terkecuali antara hubungan antara laki-laki dan perempuan.berdasarkan itu, perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya akan merubah posisi dan hubungan. Yang dapat dikategorikan dalam teori konflik ini diantaranya adalah:
Kelompok pertama penganut teori konflik, Feminisme Radikal, sejarahnya muncul sebagai reaksi atas kultur sexism atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60-an, khusunya sangat penting dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi (Brownmiller, 1976). Ini tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis, sehingga dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan kaum perempuan oleh laki-laki dianggapnya berakar pada jenis kelamin itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. Patriarki di sini adalah dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual di mana laki-laki memiliki kekuasan superior dan privillege ekonomi (Einstein, 1979). Oleh kelompok feminisme lainnya, terutama feminisme Marxis, analisisnya disebut ahistoris karena menganggap patriarki sebagai hal yang universal dan merupakan akar dari segala penindasan.
Gerakan feminisme radikal, mendasarkan revolusi yang terjadi pada setiap perempuan adalah yang telah mengambil aksi merubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka seniri terhadap kaum laki-laki (Stanley and Wise, Breaking Out : Feminist Conciousness and Feminist Research). Dengan kata lain, bagi gerakan feminisme radikal, revolusi dan perlawanan atas penindasan para perempuan bisa dalam bentuk yang sangat personal: urusan subjektif individu perempuan (personal is political). Hal ini sangat bertentangan dengan kerangaka feminisme Marxis yang melihat penindasan perempuan sebagai realitas objektif. Sayangnya feminisme radikal ini menagambil bentuk mode perjuangan ideologi maskulinitas, yakni persaingan untuk mengatasi kaum laki-laki.
Kelompok kedua penganut teori konflik adalah Feminisme Marxis. Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminisme radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Penindasan perempuan adalah bagan dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Menurut Marx hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan kaum proletar dan borjuis, serat tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status perempuannya. Bagi penganut feminisme Marxis, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural. Oleh karena itu feminisme Mrxis tidak menganggap patriarki atau kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitaslisme yang sesungguhnya menyebabkan masalahnya. Proses revolusi adalah perubahan struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan sistem kapitalisme internasional. Emansiapasi perempuan terjadi hanya jika perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah tangga. Bagi teori Marxis klasik, perubahan status perempuan terjadi melalui revolusi sosialis dan dengan menghapuskan pekerjaan domestik (rumah tangga).
Penganut alitran konflik yang ketiga adalah Feminisme Sosialis. Menurut Jaggar (1983), aliran ini melakukan sintesis antara metode historis materialis Marx dengan gagasan personal is political dari kaum feminis radikal. Bagi feminisme sosialis, penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan. Feminis sosialis mulai dikenal sejak tahun 1970-an, aliran ini memiliki ketegangan antara kebutuhan kesadaran feminis di satu pihak dan kebutuhan menjaga integritas materialisme Marxisme di pihak lain, sehingga analisis patriarki perlu ditambahkan dalam analisis mode of production. Feminisme sosialis menganggap bahwa penindasan perempuan bisa melahirkan kesadaran revolusi, tapi bukan revolusi model perempuan sebagai jenis kelamin (women as sex) yang diproklamirkan oleh feminisme radikal. Feminis radikal seperti Firestone, menganggap biologi menentukan nasib perempuan maka biologilah yang harus diubah. Perjuangan feminis haruslah tidak berhenti pada penghapusan keistimewaan berdasrakan jenis kelamin (sex differences) itu sendiri. Bagi feminisme radikal, peran utama perempuan tidak lagi mengurus dan menyusi anak dan biologis tidak lagi harus menjadi dasar bagi organisasi sosial.
Sebaliknya, bagi feminisme sosialis seperti Zillah Einstein, ketidakadilan bukan akibat dari perbedaan biologis laki-laki perempuan, tetapi lebiih karena penilaian dan anggapan (social construction) terhadap perbedan itu. Oleh karena itu yang diperangi adalah konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur dari sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender.
Pandangan feminis sosialis menggunakan fakta universal subordinasi perempuan (yang berbeda isinya dari masa ke masa dan dibawah berbagai mode of production) sebagai landasan studi perbandingan dan praksis baru. Pandangan tentang keterkaitan antara hubungan produksi (relation of production) dan cara produksi (mode of production) adalah inti pandangan tentang penindasan perempuan yang mengambil bentuk dalam gagasan-gagasan dari pemikir seperti Sacks, yang mengutip Engles (sahabat Marxs), melalui proses sejarah perempuan barubah dari anggota masyarakat yang bebas (independent) dan sederajat (equal) menjadi subordinate dan istri yang bergantung (dependent). Pertumbuhan tentang private, dimana keluarga sebagai lembaga yang memeras dan melanggengkannya, adalah penyebab transformasi itu. Sejak tesis household as the entire economy dikembangkan, cabang feminis sosialis juga menjadi bagian dari pandangan dunia perempuan (female-sphere).
Menurut pandangan Gayke Rubin, perkawinan adalah total relationship of exchange, bukan saja antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga dengan sekelompok laki-laki, dan perempuan dianggap sebagai objek perdagangan. Pembagian kerja secara seksual (sexual division of labor) adalah usaha melembagakan ketergantungan antar jenis kelamin yang sesungguhnya menguntungkan laki-laki. Menurutnya, sangat tabu menyamakan laki-laki dengan perempuan, selanjutnya ia menafsirkan teori Freud yang mempertentangkan laki-laki dan perempuan sebagai tanggapan atas krisis oedipus, sebagai pembebasan perempuan karena secara fisik menerima ketakberdayaan struktural. Penerimaan ini menjadi identitas gender (gender identity) yang menuurut Nancy Chodrow berkembang menjadi reproduction of Mothering.

Sesungguhnya masih banyak lagi aliran feminisme selain keempat aliran utama dari gerakan feminisme tersebut. Misalnya eco-feminism yang dikembangkan oleh Vandan Shiva dari India dan Maria Mies dari Jerman atau juga feminisme Dunia Ketiga bahkan juga dari kalangan agama seperti Feminisme Muslim. Hampir semua aliran dirasakan memberikan sumbangan untuk menguatkan kaum perempuan. Usaha kaum feminisme liberal untuk mendidik kaum perempuan agar setara dan mampu berasing dengan kaum laki-laki bisa digunakan sebagai usaha jangka pendek dalam rangka usaha strategis jangka panjang, emansipasi dan transformasi yang lebih bersifat ideologis diperjuangkan bersama-sama aliran feminis lainnya. Tanpa analisis gender gerakan feminisme akan mengalami kesulitan untuk melihat sistem dan struktur, dan akibatnya hanya tertuju kepada kaum perempuan saja.

Budaya Patriarki
Sejak awal mulanya kehidupan manusia, dikenal adanya laki-laki dan perempuan, dimana masing-masing mempunyai ciri-ciri sendiri. Dalam kehidupan manusia dengan adanya perbedaan jenis kelamin ini, maka manusia dapat mempunyai keturunan karena laki-laki dapat menghamili dan perempuan dihamili dan melahirkan anak. Setelah lahir keturunan lahir pulalah peran yang berbeda-beda untuk mengurus anak, membesarkan anak, mencari nafkahdan peran kemasyarakatan lainnya yang membedakan peran laki-laki dan peran perempuan yang dikelompokkan ke dalam bidang reproduktif (domestik) dan produktif (publik) dan inilah yang disebut peran gender. Dalam perjalanan sejarah selama berabad-abad peran gender oleh masyarakat, budaya dan tata nilai dibentuk sedemikian rupa sehingga ada peran yang dimainkan oleh kaum laki-laki dan peran yang diserahkan kepada perempuan. Sedangkan peran publik, yang menghasilkan uang, pengaruh dan kekuasaan diserahkan kepada kaum laki-laki. Akibat pembagian kerja itu menimbulkan ketimpangan peran antara laki-laki dan perempuan. Perempuan selalu dilekatkan pada citra feminimitas yang diartikan selalu pada sifat mndahulukan kepentingan orang lain, mempertahankan ketergantungan pada laki-laki serta dituntut untuk mengedepankan peran domestiknya sebagai peran ‘kodratnya’. Sementara itu, laki-laki dilekatkan pada sosok prima, maskulinitas yang mencitrakan keberanian, tegas dalam bertindak, sosok yang harus dipatuhi, dilayani, sehingga secara sosial laki-laki diposisikan lebih tinggi daripada perempuan.
Patriarki berasal dari kata patriarkat yang berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral dan segala-galanya. Tradisi patriarki adalah pola relasi gender dengan berakar pada kaum laki-laki sebagai pengendali.
Budaya patriarki adalah budaya yang dibangun di atas dasar struktur dominasi dan subordinasi yang mengharuskan suatu hirarki dimana laki-lakidan pandangan laki-laki menjadi suatu norma.
Struktur kehidupan ekonomi dalam budaya patriarki yang sering ditentang oleh kaum feminis karena mendasarkan dirinya pada pola relasi kuasa (power relation) yang menindas. Pandangan Nasruddin Umar (2002), apabila pola relasi kuasa semakin kuat, akan menyebabkan semakin besar pula ketimpangan peran gender di dalam masyarakat. Sebab, seseorang akan diukur berdasarkan nilai produktivitasnya. Dengan alasan faktor reproduksi, produktivitas perempuan dianggap tidak semaksimal laki-laki. Perempuan diklaim sebagai komunitas reproduksi yang lebih tepat mengambil peran domestik. Sedangkan laki-laki diklaim sebagai komunitas produktif yang lebih tepat mengambil peran publik, akibatnya terciptalah masyarakat yang didominasi laki-laki.
Dalam konteks kekinian haruslah dicermati dalam melihat pola-pola relasi kesetaran dalam gender yang dipraktikan sejak zaman dahulu. Ini berarti spirit dan nilai-nilai substantif yang harus diutamakan digali, untuk kemudian didialogkan dengan realitas kontemporer. Dasarnya adalah karena watak alamiah sejarah manusia yang semakin berkembang menuju kompleksitas yang semakin rumit, maka semakin sulit pula membaca struktur-struktur ketertindasan kaum perempuan oleh karena tidak hanya sebab-sebab individu dan sistem sosial “sederhana“ saja, tetapi juga sistem-sistem sosial “tinggi” seperti industrialisasi dan lainnya. Relasi gender harusnya dibangun secara sosial dari dialog dengan realitas-relitas kontemporer. Hendaknya harus melihat dialektika dari teks-teks pemikirann dan kondisi yang telah ada untuk kemudian dicari tujuan-tujuan umum dari keseluruhan realitas tersebut.

Pernikahan
Pernikahan adalah lembaga sosial yang sering dianalisis kalangan feminis. Kecendrungan dominan yang muncul, feminis berpandangan negatif terhadap institusi pernikahan. Tidak aneh jika ada pandangan mapan bahwa feminis tidak boleh atau kurang pantas, bahkan terlarang menikah. Lembaga pernikahan menjadikan feminis mengalami penindasan secara sistemtis. Pernikahan menambah ruang kemasyarakatan yang melanggengkan represi terhadap perempuan. Kenyataan ini bertentangan dengan perjuangan para feminis. Hal yang diperjuangkan para feminis adalah membebaskan para perempuan dari segala bentuk represi.
Dalam pernikahan perempuan hanya menempati peran dan kedudukan sekunder. Realitas ini dapat disimak ketika perempuan diposisikan sebagi istri, maka dia harus mengikuti dan patuh yang cenderung absolut bagi laki-laki sebagai seorang suami.pada lembaga pernikahan ini, perempuan mengalami subordianasi ketika ditempatkan sebagai ibu rumah tangga. Sebaliknya, laki-laki (suami) berkedudukan sebagai kepala keluarga. Sekilas, predikat ‘ibu rumah tangga’ untuk perempuan bersifat netral dan natural, atau setidaknya dianggap sebagai gejala yang normal. Tapi jika disingkap lebih jauh, konsep ‘ibu rumah tangga’ sangat ideologis. Melalui pelembagaan ibu rumah tangga, perempuan sebagai istri diharuskan setia kepada suami. Belum lagi ditambah dengan tugas kerumahtanggaan yang tidak ringan. Dalam situasi sosial yang menjadikan perempuan sebagai ibu (motherhood), perempuan pun diwajibkan menyajikan pengasuhan terbaik untuk anak-anak. Jika anak-anak gagal maka pihak pertama yang disalahkan adalah perempuan.
Penilaian lebih negatif terhadap lembaga pernikahan dikemukakan feminis Marxis, yang mengevaluasi institusi pernikahan yang dikaitkan dengan pembagian kerja secara seksual. Pernikahan yang berlanngsung secara beruntun adalah relasi kekuasaan yang terjadi antara suami dengan istri layaknya hubungan borjuis-proletar. Suami berposisi sebagi pemilik modal yang berkuasa penuh serta mengeksploitasi tanpa batas. Istri merupakan proletar (buruh) yang dipaksa menjalankan berbagai pekerjaan rumah tangga sehingga berbagai potensi perempuan (istri) untuk melakukan kreativitas yang dikehendakinya pada akhirnya mengalami pemasungan. Oleh Kate Millet, lembaga pernikahan atau keluarga merupakan perangkat utama patriarki yang menjalankan pengaturan terhadap sikap dan tingkah laku anggota-anggotanya sehingga terjadi pelanggengan ideologi patriarki.
Feminisme adalah aliran berpikir sekaligus gerakan yang mencoba melakukan perlawanan terhadap gagasan ideologis dan semua sistem dominasi yang menghancurkan perempuan. Pihak yang menjalankan dan memiliki integritas untuk melakukan tindakan itu disebut feminis. Hal ini bermakna bahwa untuk menjadi feminis dan menjalankan aksi feminisme tidak identik dengan membenci laki-laki dan menghancurkan kehidupan keluarga (pernikahan). Pernikahan juga dapat dipahami sebagai pelembagaan terhadap komitmen kasih sayang antara perempuan dan laki-laki. Jika pernikahan adalah realisasi seni mencinta sebagaimana diungkapkan Erich Fromm (1900-1980), yang menyatakan pernikahan menjadi institusi sosial yang membebaskan. Namun sebaliknya, jika pernikahan dijadikan instrumen untuk menjalankan dan mewujudkan dorongan memilliki, maka yang berlangsung adalah tindakan menguasai yang dijalankan suami terhadap istri (atau sebaliknya). Pernikahan seharusnya menjadikan setiap individu yang terlibat di dalamnya meraih modus menjadi lebih baik (to be better and better) dan bukan menjebak subjek-subjek sosial dalam modus memiliki untuk mewujudkan keserakahan (to be more and more).
Pernikahan merupakan suatu institusi yang berakar kuat di semua peradaban manusia. Pada tradisi sekuler bahkan religius, pernikahan dijunjung tinggi. Manfaat pernikahan bagi individu maupun sosial melampaui batas-batas yang bisa dibayangkan oleh manusia. Entah apa jadinya peradaban manusi tanpa institusi ini. Ketidakpercayaan merupakan pertanda ada yang salah dalam institusi pernikahan itu sendiri. Menurut survei Heritage Foundation, angka kelahiran tanpa pernikahan di Amerika Serikat pada 1960-an berkisar 7 %, namun pada tahun 1990-an melonjak hingga 33 %. Dengan kata lain 33 % bayi dilahirkan dari pasangan yang tidak menikah. Tren gaya hidup bersama tanpa menikah membawa dampak sosial negatif, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Orang yang cenderung tidak menikah cenderung lebih kekurangan secara ekonomi. Tudingan pernikahan membelenggu perempuan juga terbantah. Merujuk penelitian yang sama, perempuan yang tidak menikah dua kali lebih sering menjadi objek kekerasan. Adapun perempuan yang menikah lebih menikmati perasaan dihargai. Jadi, para pelakunya mesti berbenah untuk menyakinkan masyarakat bahwa penikahan adalah tatanan terbaik bagi peradaban manusia.

Konflik
Dalam kehidupan berumahtangga sering sekali terjadi konflik antar pasangan. Secara garis besar penyebab konflik dalam pernikahan terbagi dalam tiga kategori, yaitu konflik budaya, tuntutan situasional dan perbedaan oerientasi nilai serta kebutuhan pribadi suami istri, yang seringkali saling berkaitan. Pola interaksi dalam memecahkan suatu permasalahan juga dapat menimbulkan konflik baru. Banyak penelitian yang menemukan pola interaksi demand atau withdraw, salah satu pasangan mengajukan tuntutan (biasnya istri) dan yang lain menghindarinya (lazim dilakukan oleh suami), merupakan pola interaksi yang menjadi ciri-ciri pasangan tidak bahgia. Menurut Gottman dan Levenson (1992) laki-laki cenderung menghindari konflik karena mereka mengalami reaktivitas fisiologis yang lebih besar daripada konflik yang dialami perempuan. Peplau dan Gordon (dikutip Heavey, dkk., 19930, menyatakan karena kekuasaan laki-laki lebih besar daripada perempuan, mereka menolak membicarakan hal-hal yang dapat mengubah status quo. Laki-laki mendapat lebih banyak keuntungan dengan menghindari konflik.
Konflik pernikahan hampir selalu menjadi stresor bagi pasangan nikah. Stres terjadi kalau ada tuntutan yang melewati batas kemampuan penyesuaian diri. Lazarus (1985) mendefinisikan stres sebagai interaksi antara faktor-faktor eksternal dan karakteristik seseorang. Dapat disimpulakan bahwa stres adalah keterkaitan antara kondisi yang menekan, karakteristik fisik dan psikologis serta reaksi seseorang terhadap tekanan itu. Bukan mustahil pasngan yang stres memunculkan : 1. simtom-simtom emosional seperti depresi, kecemasan dan mudah tersinggung; 2. simtom fisik, berupa gangguan kesehatan fisik mislnya sakit kepala, ama, atau maag; 3. simtom perilaku seperti penyalahgunan obat-obatan. Simtom-simtom tersebut tidak terjadi begitu saja sebagi suatu insiden akibat adanya konflik, tetapi tergantung juga pada karakteristik individu, seberapa berat stres, bagaimana eksploitasi atau penyalahgunan yang terjadi serta pada keterampilan coping, tinggi rendahnya self esteem dan dukungan dari orang lain.

F. Coping
Coping merupakan usaha kognitif dan perilaku seseorang untuk mengatur tuntutan internal dan eksternal yang dinilai mengancam atau melebihi kemampuan yang dimilikinya (Folkman, dkk., 1986). Konsep coping hanya menunjuk pada usaha yang dilakuakn untuk menghadapi tekanan psikologis yang dirasakan, tanpa memperhatikan apakah usaha tersebut berhasil atau tidak terlepas dari akibat yang ditimbulkan. Berdasarkan fungsinya, coping terbagi menjadi:

memecahkan masalah secara langsung (problem focused)
mengurangi perasan terganggu akan adanya stresor (emotion focused)

Billings dan Moos mengemukakan dua strategi coping yang tergolong emotion focused dan dua strategi coping yang tergolong problem focused, yaitu:

affective regulation, individu berusaha mempertahankan keseimbangan afektifnya dengan mencoba bersikap menyerah, melupakan kesulitan dengan melihat segi-segi yang dapat menghibur diri, mengalihkan perhatian dengan menyibukkan diri pada aktivitas lain
emotional discharge, individu berusaha melepaskan diri dari tekanan dengan mengekspreikan emosi yang tidak menyenangkan secara langsung (baik secara verbal maupun melalui tindakan tertentu) atau tidak langsung (misalnya dengan makan lebih banyak atau tidur lebiha lama)
information seeking, usaha individu untuk mendapatkan informasi yang relevan dengan masalah yang dihadapi serta mencari orang lain yang dapat diajak bertukar pikiran atau membantunya menyelesaikan masalah
problem solving, usaha individu untuk memikirkan dan mempertimbangkan alternatif pemecahan masalah atau melakukan tindakan untuk memecahkan masalah secara langsung

Strategi affective regulation dan emotional discharge termasuk emotion focused coping, sedangkan information seeking dan problem solving adalah termasuk problem focused coping.
Strategi coping tiap orang berbeda-beda, karena pengaruh budaya dan pengalaman. Bahkan orang yang sama pun akan melakukan coping dengan cara yang berlainan sesuai dengan strs yang dihadapi dan persepsi mengenai sumber daya yang dimilikinya untuk memperbaiki situasi. Sebaliknya, coping yang dilakukan akan mempengaruhi stresor tersebut bagi individu dan kemudian berpengaruh juga pada reaksi yang diberikannya dalam menghadapi stresor dimasa selanjutnya.
Cara dan kekefektifan coping yang dilakukan tidak tergantung pada kemampuan intelektual (Epstein dan Katz, 1992). Sumber daya coping yang sangat mempengaruhi keberhasilan individu untuk mengatasi masalahnya adalah strategi coping, locus of control dan dukungan sosial. Coping bersifat dinamis, situasional, meliputi bentuk usaha yang realitas dan disadari maupun dorongan dan cara yang tidak realitas dan di luar kesadaran.
Hasil penelitian Pearlin dan Schooler menunjukkan bahwa respon coping bermanfaat untuk mengurangi ketegangan dalam pernikahan dan hal-hal yang berkaitan dengan pengasuhan anak. Coping merupakan prediktor kebahagiaan pernikahkahan yang lebih baik daripada variabel-variabel demografik. Menaghan (1982) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan konflik pernikahan, ada empat strategi coping yang secara signifikan mempengaruhi timbulnya stres, yaitu:

negotiation
Membicarakan konflik dan bernegosiasi dengan pasangan
2. optimistic comparison
Membandingkan diri dengan orang lain dan menganggap ia lebih beruntung
3. selective ignoring
Mengabaikan hal-hal yang buruk dari pasangan dan mengambil hikmah
4. resignation
Menghindari konflik dengan memendam perasaan

Bila individu menggunakan strategi coping negotiationn atau optimistic comparison, kemungkinan stres timbul kecil. Berkebalikan dengan itu, kemungkinan besar stres akan timbul bila individu menggunakan strategi selective ignoring atau resiganation. Menaghan (1983) juga menemukan coping yang berupa tindakan aktif, misalnya minta saran dari orang lain, tidak memiliki efek khusus pada masalah pernikahan.

Selain itu, Bowman (1990) membagi strategi coping yang digunakan pasangan nikah menjadi lima, yaitu:

conflict atau bertengakar secara terbuka, bersikap kasar, mengkritik pasangan, membalas perlakuan buruk dari pasangan
introspective self-blame atau menyalahkan diri sendiri, mengalami kecemasan, perasaan terganggu dan ada gangguan kesehatan
positive approach atau mengajak pasangan untuk melakukan kegiatan bersama, menunjukkan rasa kasih melalui bahasa tubuh
self interest yaitu melakukan aktivitas yang menyenangkan di luar pernikahan tanpa melibatkan pasangan
avoidance, berupa penyangkalan dan pengalihan perasaan

Beberapa strategi coping memiliki tujuan yang sama, meskipun cara pencapaiaannya berbeda. Misalnya, antara strategi coping avoidance dan resignation sama-sama bertujuan untuk menghindari konflik terbuka, tetapi resignation dengan memendam perasaan, avoidance dengan berusaha tidak memperdulikan masalah.
Penelitian yang dilakukan oleh Pearlin dan Schooler serta Menaghan (1982) mengungkapkan bahwa karena perbedan tuntutan peran, sumber stres pada perempuan lebih bervariasi. Pearlin dan Schooler juga menemukan bahwa perempuan lebih banyak menggunakan strategi selective ignoring dalam menghadapi konflik pernikahan. Perempuan berpendidikan tinggi lebih banyak mencari kegiatan luar yang menyenangkan sebagai strategi copingnya, dibandingkan laki-laki (Sidle dkk., 1969). Ini sejalan dengan hasil temuan Taylor (1990) bahwa perempuan yang bekerja yang mengalami konflik tentang pembagian tugas di rumah akan melakukan coping dengan mengurangi waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Perempuan lebih cemas dan berkonflik dalam menghadapi masalah-masalah pernikahan, sedangkan laki-laki lebih banyak menghindari konflik asal tidak mengganggu statusnya.
Cara coping berbeda menurut umur dan lama pernikahan (Bowman,1990). Pada awal pernikahan, pasangan menggunakan cara coping positive approach, pada tahun-tahun berikutnya mereka melakukan coping conflict dan instropective self-blame. Mereka yang menikah cukup lama kembali menggunakan cara coping positive approach.
Coping yang dilakuakan suami istri untuk menghadapi masalah dalam pernikahan bersifat temporal, dipengaruhi oleh umur, lama menikah dan pendidikan, serta terbagi dalam strategi-strategi spesifik yang berbeda dari strategi coping biasa. Berdasar penelitian, kecenderungan istri untuk mempergunakan strategi coping instropective sel-blame lebih tinggi dibandingkan suami. Selain itu secara keseluruhan subjek penelitian memiliki kecenderungan untuk menggunakan strategi coping yang berbeda berdasarkan etnik dan status dalam pernikahan.

Tinjauan Kasus
Keluarga dan Fenomena Suami Takut Istri
Pada suatu waktu setelah hari kiamat, para malaikat mengumpulkan para suami. Rupanya malaikat ingin mengetahui bagaimana besarnya dominasi suami terhadap istri. Salah seorang malaikat berkata: "Coba para suami bentuk dua barisan, satu barisan untuk suami yang mendominasi istrinya, dan satu baris lagi untuk suami yang di-dominasi oleh istri". Setelah beberapa saat, malaikat memeriksa barisan dan melihat hanya ada satu suami yang berada pada barisan ‘suami yang mendominasi istri’, yang lainnya berada dalam barisan ‘suami yang didominasi istri’. Melihat itu, marahlah malaikat: "Aku sangat kecewa melihatnya, bukankah suami diciptakan untuk menjadi pemimpin istrinya, bukan sebaliknya? Lihat pria ini, kalian harus mencontoh pria satu ini!", sambung malaikat, "Kau membuatku bangga, katakan bagaimana cara hidupmu sehingga hanya engkau yang berada dibarisan ini. Pria itu berkata: "Nggak tau, tadi saya disuruh istri saya berdiri disini, nggak boleh kemana-mana."

Begitulah seklumit anekdot tentang penggambaran suami yang takut pada istrinya. Hakekat pernikahan adalah membentuk suatu keluarga dimana tujuannya adalah memiliki anak. Sebuah keluarga adalah sekelompok orang yang membentuk rumah tangga secara bersama-sama berdasarkan, paling tidak sebagian, pada sejenis komitmen interpersonal yang abadi. Sanksi perkawinan secara legal dan agama amerupakan satu contoh dari komitmen semacam itu, tapi bukan satu-satunya komitmen. Keluarga adalah kesatuan kemasyarakatan sosial terkecil berdasar hubungan perkawinan atau sekelompok orang yang berketurunan dari nenek moyang yang sama (Kamus Besar Ilmu Pengetahuan). Keluarga tradisional merupakan pusat keluarga yang terdiri atas bersatunya perkawinan heteroseksual dan anak-anak mereka secara legal. Dimana laki-laki sebagai pencari nafkah yang utama dan kepala rumah tangga serta perempuan bertanggung jawab atas semuanya, hampir semua hal domestik dan pemeliharaan anak (Barrie Thorne, 1982). Ahli berpendapat bahwa struktur keluarga timbul karena soal perkawinan (sexual) atau umumnya berpendapat bahwa struktur keluarga ditentukan oleh ikatan keturunan. Dikenal ikatan:

1. Consanquine family (extended family) yang menitikberatkan pada kekerabatan
2. Conjugal family (nuclear family) yang menitikberatkan pada perkawinan

Dalam nuclear family ada beberapa jenis perkawinan yaitu monogami, polygami, dan polyandri.
Dalam konteks keturunan, ayah dan ibu sama pentingnya, tetapi rumah tangga cenderung berfokus kepada ibu. Urusan hidup berumah tangga lebih berkisar pada ibu daripada ayah. Ibu dan keluarga asla menjadi sumber utama kepastian dan kelangsungan anak-anak. Rumah jelas sekali merupakan wilayah ibu; dunia di luar itulah kekuasaan para pria. Keterpusatan pada ibu lebih lanjut dikembangkan lagi dengan kultus kepada ibu, dan anak-anak dicekoki dengan keteladanan moral sang ibu. Para ibu dihormati sedemikian rupa, bukan hanya karena memberi hidup dan pengasuhan, tetapi juga karena menyerehkan diri kepada kepentingan anaknya dengan cintanya yang tak bersyarat. Penyerahan pada ibu dan penghormatan terhadapnya merupakan penghargan pada hierarki moral yang dilambangkan oleh-Nya.
Ibu adalah sumber utama asuhan, kenyamanan, kebaikan,ketergantungan, ajaran, dan kepemimpinan; dia penuh perhatian, memahami perasaan anak-anaknya dan tahu apa yang baik bagi anak-anaknya. Meskipun ibu adalah yang paling akrab untuk anak mereka, dia juga merupakan penyangga moral alam semesta, yang menuntut kesetiaan tak tergoyahkan, melawan dia sungguh-sungguh dosa. Ikatan anak dengan ibunya adalah suatu ketergantungan moral pada seorang yang hidup dan menyumbang pembentukan suara hati yang tergantung, suara hati yang diarahkan oleh yang lain, suatu kesadaran akan orang lain, akan mata, telinga, dan pendapat orang lain. Menjadi orang yang baik atau buruk tergantung pada bagaimana orang berhubungan dengan tetangga, teman dan keluarganya sendiri, karena itu amat terikat pada pribadi seseorang (partikularistik). Kebiasaan yang menyenangkan, kepekaan terhadap perasaan orang lain, perhatian, sopan santun, sindiran sebagai ganti kritik terbuka, menarik diri atau menyembunyikan diri adalah ajaran umum dari seorang ibu.
Para ayah juga harus dihormati, tetapi betapapun bermoral, baik, dan bijaksananya mereka, para ayah mewakili dunia kehidupan yang lain, yaitu hierarki dunia luar yang diharapkan anak-anak kuasai dengan baik. Dunia luar ini tidak perlu merupakan tempat bermoral, karena pada dasarnya dunia luar adalah arena persaingan antara barang materi, prestise, pengaruh daqn kuasa. Anak-anak diajar untuk menghargai orangtua mereka untuk mengingat kebaikan mereka dan untuk perasan wajib. Di situ figur ibu menjadi lebih khusus karena pusat moralitas ada pada dirinya. Terlebih lagi, ibu dekat dan selalu siap sedia, sementara ayah cenderung tampil sebagai figur yang agak jauh. Akibatnya, ibu menjadi pengejawantahan super-ego primer dan patokan paling utama bagi hati nurani anak-anak mereka.
Tatanan yang baik dalam keluarga umumnya dikepalai oleh seorang ayah yang biasanya otoriter, yang dalam banyak hal tampil sebagai orang yang secara emosional berjarak dan wajib disegani. Dia mewakili tatanan dan hierarki. Dia pengejawantahan hidup di luar rumah yang cukup terstruktur karena mempunyai tatanan hirarki yang jelas. Tuntutan ayah untuk disegani juga dilatarbelakangi oleh sanksi adikodrati, tetapi jaraknya yang jauh membuat dia amat berbeda dari ibu yang mudah didekati. Para suami umumnya suka meninggalkan masalah rumah tangga di tangan istri mereka, maka semua kendali atas urusan rumah menjadi kekuasan seorng ibu atau istri.
Model sosial yang berasal dari keluarga dianggap cukup konservatif, terutama karena model ini memekai paradigma moral. Umumnya, ideal semacam ini tak boleh dipertanyakan, ini adalah ideologi keluarga. Model ini dengan keras menentukan peran-peran dan majaga supaya kedua kelamin tinggal ditempat masing-masing yang tepat, meskipun harapan akan peran dan tempat tidak selalu sama. Peran kaum pria di beberapa tempat di Indonesia seperti dalam suku Jawa diamainkan secara berbeda. Pria Jawa diharapkan mencari kepuasan dalam diri mereka sendiri, dalam pengembangan batin yang dapat menyerap atau menjadi benteng melawan kekcewan hidup maupun di luar keluarga. Terpusat dalam diri, banyak pria Jawa menjadi tampak lemah, juga cenderung menyerah kepada istri mereka, yang dianggap lebih emosional, keduniawian, dan lebih kekanak-kanakan secara rohani. Dengan demikian para pria mengungkapkan diri dalm masyarakat dan diharapkan mampu memelihara kehidupan emosional mereka sendiri. Mereka adalah suami yang berjarak dan ayah yang jauh. Namun secara material, mereka dianggap tergantung pada wanita dan tak mampu memelihara diri mereka sendiri.
Sejak kecil, orang telah belajar menekan perasan negatif mereka yang dan menguasai emosi agar tidak terlalu mengganggu satu sama lain. Orang tidak hanya belajar menyingkiri konfrontasi langsung, tetapi juga tak memberinya kesempatan untuk muncul. Memehami perasaan oraqng lain menjadi suatu seni (seni untuk menghindari persoalan dan untuk terus mengikuti jalannya sendiri). Karena orang itu tahu tentang diri mereka sendiri dan tentang orang lain, mereka cenderung bersikap saling mengingat, menghindari dan menerima perilaku yang menyakitkan dan cenderung untuk selanjutnya berhati-hati berhadapan dengan orang lain. Emosi dan perasaan, intuisi, empati dan simpati, kesadaran diri, dan penghargaan terhadap orang lain adalah patokan yang sah untuk berinteraksi, sama dengan menyembunyikan konflik, menyagkal frustasi dan menguasai emosi-emosi negatif.
Dunia yang dilami sebagai sesuatu yang amat interpersonal dan saling tergantung , menuntut banyak perhatian untuk menghindari konflik terbuka yang mengancam solidaritas. Orang-orang mengembangkan kemampuan yang tinggi untuk berinteraksi, merasakan kepekaan orang lain, menerapkan prinsip toleransi, mengantisipasi persoalan dan menarik diri, serta mengendalikan kemarahan dengan berdiam diri. Tak jarang, menghindari persoalan dengn tidak melibatkan diri sama serkali, dengan bersikaptak peduli. Sebaliknya,jika terlibat, masuk akallah untuk menghindari kontak langsung dengan musuhnya, berlaku seolah-olah orang itu tak ada, dan menjauhkan diri dari semua tindakan yang tidak perlu. Tutup mulut juga dilakukan dalam rumah tangga sebagi satu jalan untuk meredakan keadaan atau melanjutkan konflik. Berbicara mengenai perselisihan itu atau berusaha mengatasinya dengan membicarakan masalahnya biasnya dianggap suatu pendekatan yang konfrontatif. Orang akan menemukan bahwa umumnya orang-orang akan cukup berhati-hati, menjaga diri, dan biasanya tak mampu menegaskan apa yang sesungguhnya menyakiti hati. Pada umumnya, perasaan negatif perlu ditinggal untuk diredakan selama beberapa waktu, dengan demikian cara menghindar dan pemanfaatan pengantara merupakan sarana yang paling baik.
Istri bisa menjauhi suami, menolak untuk berbicara kepadanya sselam berhari-hari atau pergi dari rumah dan kembali ke rumah orangtuanya selama beberapa waktu. Sering banyak alasan untuk perilaku merajuk semacam itu, misalnya ketidak setiaan, cekcok dengan mertua, konflik kesetiaan (antara orangtua sendiri dengan pasangannya), terlalu banyak berada di luar rumah, judi atau minum-minum. Ini semua merupakan akar perselisihan dan konflik rumah tangga. Nemun, dalam keluarga terdapat kebutuhan besar untuk berbaikan kembali atau paling tidak kebutuhan akan ‘kehadiran yang damai’ dan itulah sebabnya banyak istri memilih untuk membatasi diri dalam peran mereka sebagai pemelihara rumah dan ibu , sementara suami cenderung lebih berlaku sebagai yang mencukupi kebutuhan daripada melibatkan diri secara emosional dengan istri dan masalah anak-anak.

Analisis Kasus
Lewat anekdot di atas yang mewakili maraknya kenyataan di lapangan tentang rumor suami takut istri, yang akhir-akhir ini oleh media dijadikan sinetron situasi komedi di salah satu stasiun TV swasta, menarik untuk diperhatikan. Dalam kehidupan bangsa Indonesia sebagai negara yang berkembang tidak jarang ditemukan berbagai masalah global yang menjangkiti negara manapun, salah satunya gender. Indonesia yang memiliki bermacam budaya, etnik serta ras sangat kaya akan pemahaman makna tentang gender. Terlebih secara umum Indonesia penganut paham budaya patriarki, meskipun ada suku tertentu yang tidak menggunakannya misalnya suku Minang dimana budayanya menitikberatkan pada kendali seorang wanita.
Dalam budaya patriarki ini selalu tumbuh gerakan feminisme melawan ketidakadilan bagi penganutnya yang menginginkan kaum perempuan untuk lepas dari peran domestik yang dianggap melecehkan martabatnya sebagai seorang manusia. Dalam kehidupan sehari-hari ketimpangan ini akrab menghiasi media dan selalu mendapat respon oleh gerakan feminis melalui serangan balik lewat tulisan yang acap kali terkesan provokatif dalam mengusung ide-idenya. Tidak bisa dipungkiri bahwa negara Indonesia ini berada dalam keadaan merangkak dalam berdemokrasi sehingga terkadang nilai-nilai demokrasi yang krusial selalu bertumpang tindih atas kehendak banyak pihak sehingga menimbukan perdebatan yang terbuka dan bahkan imbasnyapun sampai pada rumah-rumah tangga yang mengomentarinya menjadikannya isu yang sensitif. Tak pelak sering terjadi konflik, entah karena sebagai pemicu atas kepentingan lain atau memang menjadi pokok permasalahan tersendiri, yang pastinya ada dampaknya untuk kalangan rumah tangga.
Tetapi ada fenomena menarik yang menjadi topik di tiap generasi tentang peran istri sebagai pengendali rumah yang menimbulkan tak berdayanya kuasa suami untuk tidak melawan atau menuruti kehendak sang istri. Sebagai penganut budaya patriarki Indonesia sangat menjunjung tinggi peran laki-laki dalam ranah publik tetapi dalam ranah domestik (rumah) suami harus tunduk pada kekuasaan si istri yang lebih mendominasi. Lewat berbagai uraian teori di atas tentang konflik dan coping suami cenderung mengelak atau menghindari konflik terbuka bila istri mulai menampakkan gelagat yang kurang mengenakkan, tentu saja tujuannya untuk mempertahankan ketetapan status quo (keadaan stabil saat ini). Ini merupakan salah satu kemenangan gerakan feminis atau bukan, yang pasti anggapan bahwa peran perempuan dlam rumah tangga tidak lagi mengalami marginalisasi karena nyatanya kekuasan rumah tangga ada di tangan istri dan tidak bisa diganggu gugat.
Lewat berbagai uaraian tentang konflik, pernikahan dan keluarga yang saling berkaitan erat terlihat bahwa dominasi laki-laki kurang berpengaruh dalam kehidupan berumah tangga yang meskipun suatu hal yang mutlak diperlukan peran suami sebagai kepala keluarga tetapi dalamhal tanggung jawab ekonomi, pendiidikan anak, pembentukan moral anak, kesehatan keluarga, kestabilan keluarga dan juga keberaturan rumah tangga semuanya menjadi kuasa seorang istri sekaligus ibu. Karena peran krusial inilah jika ada konflik, para suami terkadang hanya mengelak dan menghindar secara emosional karena yang ada hanyalah masalah yang lebih besar lagi menanti karena istri akan protes dan meninggalakan semua tugasnya yang utama sehingga menganggu keadaan rumah tangga yang damai.
Kedaan suami yang takut istri sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang memalukan karena di sadari atau tidak suami cenderung mengalah agar kedamaiaan rumah tangga tetap terjamin dalam peranannya sebagai kepala keluarga agar tidak mendapat goncanagan yang berarti. Kebahagiaan pernikahan tidak hany bisa diperoleh oleh salah satu pasangan, ini harus mutlak keduanya agar komitmen dalam berumah tangga tetap pada jalurnya sehingga masa depan yang dinanti, dibangun, dan diimpikan sejalan.
Wacana tentang peran gender sebenarnya bukanlah suatu hal yang anarkis karena menimbulkan gerakan feminis yang terkadang sangat ekstrim tetapi dalam peran gender perempuan dalam konteks rumah tangga harusnya dipandang secara proporsional oleh kalangan feminis atas permusuhannya dengan budaya patriarki bukan sebagai laki-laki sebagi musuh terlebih peran seorang suami.

Renungan Adakah istri yang tidak cerewet? Sulit menemukannya. Bahkan istri Khalifah sekaliber Umar bin Khatab pun cerewet. Seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa. Menuju kediaman Khalifah Umar bin Khatab. Ia ingin mengadu pada khalifah; tak tahan dengan kecerewetan istrinya. Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun.Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah katapun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah. Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar. Apa yang membuat seorang Umar bin Khatab yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel? Mengapa ia hanya mendengarkan, padahal di luar sana, ia selalu tegas pada siapapun? Umar berdiam diri karena ingat 5 hal. Istrinya berperan sebagai BP4. Apakah BP4 tersebut?1. Benteng Penjaga Api Neraka. Kelemahan laki-laki ada di mata. Jika ia tak bisa menundukkan pandangannya, niscaya panah-panah setan berlesatan dari matanya, membidik tubuh-tubuh elok di sekitarnya. Panah yang tertancap membuat darah mendesir, bergolak, membangkitkan raksasa dalam dirinya. Sang raksasa dapat melakukan apapun demi terpuasnya satu hal; syahwat. Adalah sang istri yang selalu berada di sisi, menjadi ladang bagi laki-laki untuk menyemai benih, menuai buah di kemudian hari. Adalah istri tempat ia mengalirkan berjuta gelora. Biar lepas dan bukan azab yang kelak diterimanya Ia malah mendapatkan dua kenikmatan: dunia dan akhirat.Maka, ketika Umar terpikat pada liukan penari yang datang dari kobaran api, ia akan ingat pada istri, pada penyelamat yang melindunginya dari liukan indah namun membakar. Bukankah sang istri dapat menari, bernyanyi dengan liukan yang sama, lebih indah malah. Membawanya ke langit biru. Melambungkan raga hingga langit ketujuh. Lebih dari itu istri yang salihah selalu menjadi penyemangatnya dalam mencari nafkah.
2. Pemelihara Rumah Pagi hingga sore suami bekerja. Berpeluh. Terkadang sampai mejelang malam. Mengumpulkan harta. Setiap hari selalu begitu. Ia pengumpul dan terkadang tak begitu peduli dengan apa yang dikumpulkannya. Mendapatkan uang, beli ini beli itu. Untunglah ada istri yg selalu menjaga, memelihara. Agar harta diperoleh dgn keringat, air mata, bahkan darah tak menguap sia-sia Ada istri yg siap menjadi pemelihara selama 24 jam, tanpa bayaran. Jika suami menggaji seseorang untuk menjaga hartanya 24 jam, dengan penuh cinta, kasih sayang, dan rasa memiliki yang tinggi, siapa yang sudi? Berapa pula ia mau dibayar. Niscaya sulit menemukan pemelihara rumah yang lebih telaten daripada istrinya. Umar ingat betul akan hal itu. Maka tak ada salahnya ia mendengarkan omelan istri, karena (mungkin) ia lelah menjaga harta-harta sang suami yang semakin hari semakin membebani.
3. Penjaga Penampilan. Umumnya laki-laki tak bisa menjaga penampilan. Kulit legam tapi berpakaian warna gelap. Tubuh tambun malah suka baju bermotif besar. Atasan dan bawahan sering tak sepadan. Untunglah suami punya penata busana yang setiap pagi menyiapkan pakaianannya, memilihkan apa yang pantas untuknya, menjahitkan sendiri di waktu luang, menisik bila ada yang sobek. Suami yang tampil menawan adalah wujud ketelatenan istri. Tak mengapa mendengarnya berkeluh kesah atas kecakapannya itu
4. Pengasuh anak-anak. Suami menyemai benih di ladang istri. Benih tumbuh, mekar. Sembilan bulan istri bersusah payah merawat benih hingga lahir tunas yang menggembirakan. Tak berhenti sampai di situ. Istri juga merawat tunas agar tumbuh besar. Kokoh dan kuat. Jika ada yang salah dengan pertumbuhan sang tunas, pastilah istri yang disalahkan. Bila tunas membanggakan lebih dulu suami maju ke depan, mengaku, ?akulah yang membuatnya begitu.? Baik buruknya sang tunas beberapa tahun ke depan tak lepas dari sentuhan tangannya. Umar paham benar akan hal itu.
5 .Penyedia Hidangan. Pulang kerja, suami memikul lelah di badan. Energi terkuras, beraktivitas di seharian. Ia butuh asupan untuk mengembalikan energi. Di meja makan suami Cuma tahu ada hidangan: ayam panggang kecap, sayur asam, sambal terasi danlalapan. Tak terpikir olehnya harga ayam melambung; tadi bagi istrinya sempat berdebat, menawar, harga melebihi anggaran. Tak perlu suami memotong sayuran, mengulek bumbu, dan memilah-milih cabai & bawang. Tak pusing ia memikirkan berapa takaran bumbu agar rasa pas di lidah. Yang suami tahu hanya makan. Itupun terkadang dgn jumlah berlebihan; menyisakan sedikit saja untuk istri si juru masak. Tanpa perhitungan istri selalu menjadi koki terbaik untuk suami. Mencatat dalam memori makanan apa yang disuka dan dibenci suami.
Dengan mengingat lima peran ini, Umar kerap diam setiap istrinya ngomel. Mungkin dia capek, mungkin dia jenuh dengan segala beban rumah tangga di pundaknya. Istri tlh berusaha membentenginya dari api neraka, memelihara hartanya, menjaga penampilannya, mengasuh anak-anak, menyediakan hidangan untuknya. Untuk segala kemurahan hati sang istri, tak mengapa ia mendengarkan keluh kesah buah lelah.Umar hanya mengingat kebaikan2 istri untuk menutupi segala cela & kekurangannya. Bila istri sudah puas menumpahkan kata-katanya, barulah ia menasehati, dengan cara yang baik, dengan bercanda. Hingga tak terhindar pertumpahan ludah dan caci maki tak terpuji.Akankah suami-suami masa kini dapat mencontoh perilaku Umar ini.Ia tak hanya berhasil memimpin negara tapi juga menjadi imam idaman bagi keluarganya.


















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Gender adalah suatu konsep pembedaan peran, kedudukan fungsi, posisi, dan tanggung jawab anatara perempuan dan laki-lakiyang dikonstruksikan oleh struktur budaya masyarakat. Ini tidak terbentuk sejak lahir, sangat terikat, dan dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat, dapat dipertukarkan, dan sangat mungkin diubah atau direkayasa atau dibentuk sesuai dengan perkembangan pola pikir masyarakat. Ini juga sangat dipengaruhi oleh agama, susku bangsa, negara dan waktu. Konsep kesetaraan dan keadilan gender menuntut perempuan untuk keluar dari tanggung jawabnya sebagai perempuan sama sekali tidak benar. Kesetaraan dan keadilan gender adalah adanya satu kondisi yang membebaskan perempuan dan laki-laki menentukan keberadaannya di lingkungan kehidupan, dengan tetap memegang teguh kodratnya sebagai limpahan Snag Paencipta. Fungsi, peran, kedudukan, dan tanggung jawab sosial perempuan dan laki-laki akan benar-benar terwujud secara optimal ketika masing-masing pihak menghargai dan mengakui kelebihan masing-masing dengan tetap memberikan kesempatan untuk bersaing secara adil, proporsional, dan bertanggung jawab.

Saran
Wacana tentang peran gender sebenarnya bukanlah suatu hal yang anarkis karena menimbulkan gerakan feminis yang terkadang sangat ekstrim tetapi dalam peran gender perempuan dalam konteks rumah tangga harusnya dipandang secara proporsional oleh kalangan feminis atas permusuhannya dengan budaya patriarki bukan sebagai laki-laki sebagi musuh terlebih peran seorang suami.






DAFTAR PUSTAKA

Dagon, Save M. 2005. Kamus Besar Ilmu pengetahuan. Jakarta: LPKN
Fakih, Mansour. 1996. Analisis gender dan Transformasi sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gunarsa, Singgih D. 1995. Psikologi untu Keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia
May, Larry dkk. 2001. Sebuah Pendekatan Multikultural. Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Mulder, Niels. 1999. Agama, Hidup sehari-hari dan Perubahan Bidang. Jakarta: Gramedia.
Wohing Ati, Abigael. 1999. Menguji Cinta. Yogyakarta: Tarawang.
Kumpulan Tulisan Gender dari Suara Merdeka tahun 2007
http:/www.lestari-m3.org.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROGRAM PENGAJARAN INDIVIDUAL

PENCARIAN MAKNA SIMBOL-SIMBOL FILM Lord Of The Ring